Avolio & Bass (1987) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam dua hal. Pertama, meskipun pemimpin transformasional yang efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpin transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan kinerjanya. Misalnya, bawahan di dorong mengambil tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja. Kedua, pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin.
Sebelum Bass mengindikasikan ada tiga cirri kepemimpinan transformasional yaitu karismatik, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual (Avolio, dkk, 1988; Bycio, dkk, 1995; Howel & Avolio, 1993; Yukl, 1998; Seltzer dan Bass, 1990; 1995). Dalam revisinya Bass (dalam Bass & Avolio, 1993) mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri kepemimpinan transformasional. Dengan demikian ciri-ciri kepemimpinan transformasional terdiri dari karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual.
- Karismatik.
Karismatik menurut Yukl (1998) merupakan kekuatan pemimpin yang besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas. Bawahan mempercayai pemimpin karena pemimpin dianggap mempunyai pandangan, nilai dan tujuan yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin. Selanjutnya dikatakan kepemimpinan karismatik dapat memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja ekstra karena mereka menyukai pemimpinnya.
- Inspirasional.
Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam Bass, 1985) dapat merangsang antusiame bawahan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.
- Stimulasi Intelektual.
Menurut Yukl (1998; Deluga; 1998; Bycio, dkk, 1995) stimulasi intelektual merupakan upaya bawahan terhadap persoalan-persoalan dan mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui perspektif baru, sedangkan oleh Seltzer dan Bass (1990) dijelaskan bahwa melalui stimulasi intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan mendorong untuk menemukan pendekatan - pendekatan baru terhadap masalah-masalah lama. Jadi, melalui stimulasi intelektual, bawahan didorong untuk berpikir mengenai relevansi cara, system nilai, kepercayaan, harapan dan didorong melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan dan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan diri serta disorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang.
Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sebagai suatu upaya untuk memunculkan kemampuan bawahan. Hal itu dibuktikan dalam penelitian Seltzer dan bass (1990) bahwa aspek stimulasi intelektual berkorlasi positif dengan extra effort. Maksudnya, pemimpin yang dapat memberikan kontribusi intelektual senantiasa mendorong staf supaya mapu mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.
- Perhatian secara Individual
Perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual implikasinya adalah memelihara kontak langsung face to face dan komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan monitoring merupakan bentuk perhatian individual yang ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya.
Extra effort merupakan salah satu faktor tercapainya kinerja yang tinggi, kerena extra effort ini dianggap memiliki keterkaitan secara langsung dan positif dengan hasil kerja yang dihapapkan. Penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan memberikan hasil yang menarik pada gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional dengan extra effort dari bawahan. Dikatakan oleh Burke, Warner dan Litwin; George (1992) dalam penelitiannya bahwa faktor-faktor transformasional dan transaksional secara bersamaan dapat mempengaruhi kinerja.
Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan simulasi permainan manajemen yang dilakukan oleh Avolio, Bruce, Waldam, David, Einstein dan Walter (1998) bahwa kepemimpinan transaksional aktif dan transformasional berkorelasi dengan efektifitas organisasi dalam tingkat lebih tinggi sehingga menyebabkan kinerja tim lebih tinggi. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional dan transaksional aktif berkorelasi signifikan dengan kinerja yang merupakan kriteria efektivitas karena extra effort bawahan. Bukti penelitian tersebut sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Bass (1985), pada intinya konsep kepemimpinan transaksional menggambarkan pimpinan yang mengenali kebutuhan bawahannya dan melakukan pertukaran reward untuk tingkat kinerja yang diharapkan dari bawahannya. Selanjutnya dikatakan. Bahwa konsep kepemimpinan transformasional menggambarkan pemimpin yang tidak meningkatkan kesadaran bawahan untuk memperluas dan meningkatkan kebutuhan dan mendorong bawahan mentransendensikan minat pribadi ketujuan lebih luas. Perluasan nilai-nilai kerja ini dianggap akan meningkatkan kinerja dan upaya bawahan.
Bertambahkannya masa kerja berpengaruh terhadap tingkat rasa memiliki terhadap perusahaan karena karyawan yang telah lama bekerja mampu menyesuaikan diri dan mengatasi masalah yang timbul dengan pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian bertambahnya pengalaman seseorang akibat bertambahnya masa kerja akan menambah upaya bawahan dalam memecahkan permasalahan pekerjaan seperti dikatakan oleh Davis dan Newsrom (1989), masa kerja yang dimiliki oleh karyawan-karyawan membawa suatu pengalaman untuk memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan pekerjaan.
Heater dan Bass (1998) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional lebih menarik bagi karyawan yang berpendidikan tinggi karena karyawan yang berpendidikan tinggi mendambakan tantangan kerja yang dapat menambah profesionalis dan pengembangan diri. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Keller (1992) bahwa mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam menghadapi tantangan kerja dan bawahan yang mempunyai pendidikan tinggi dapat mendukung memberi respon terhadap kepemimpinan transformasional. Respon positif tersebut dapat mempengaruhi tingkat motivasi bawahan sehingga bawahan juga akan meningkatkan upayanya atau melakukan extra effort untuk mendapatkan hasil kerja lebih tinggi dari yang diharapkan. Sedangkan bass (1985) mengatakan, kepemimpinan transformasional lebih memungkinkan muncul dalam organisasi yang memiliki kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi, diharapkan dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Inspirasi
Kharisma
Konsiderasi
Individual
Stimulasi
Intelektual
Mempertinggi motivasi untuk mencapai keluaran yang direncanakan atau Extra Effort
Usaha yang diharapkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar