Senin, 18 April 2011

PEMETAAN BISNIS PROSES PSIKOTERAPI KE DALAM DESAIN AWAL SISTEM INFORMASI

 KASUS 1 : Phobia Terhadap Nasi
Phobia terhadap nasi merupakan suatu ketakutan yang dialami oleh individu yang disebabkan oleh hal-hal semacam takut terhadap nasi, jijik melihat nasi dan sebagainya. Individu yang umumnya mengalami hal ini dikarenakan adanya pengalaman traumatis yang dialami individu dalam mengkonsumsi nasi itu sendiri.

1. PENDEKATAN
Disini psikolog biasanya akan melakukan pendekatan dengan subjek melalui rapport atau pengenalan awal terlebih dahulu untuk mencairkan suasana agar subjek dapat menjadi lebih santai dan agar subjek juga dapat merasakan suasana yang nyaman.

2. MENGGALI INFORMASI ATAU ANAMNESA
Pada tahap ini psikolog akan melakukan wawancara kepada subjek (Andi) mengenai permasalahan apa yang sedang dihadapi, atau bisa juga psikolog bertanya kepada significant other (orang tua Andi). Seperti menanyakan latar belakang keluarga subjek, latar belakang pendidikan, hubungan subjek dengan orang lain, dll.
Selain wawancara langsung psikolog juga bisa melakukan observasi langsung tanpa atau dengan pengetahuan subjek. Seperti mengamati perilaku subjek sehari-hari, lalu mencatatnya. Baru setelah itu psikolog dapat membuat diagnosa tentang diri subjek, dalam hal ini Andi dinyatakan mengalami ketakutan atau phobia terhadap nasi.

3. MEMILIH TERAPI YANG TEPAT
Dalam kasus Andi, psikolog dapat memberikan pilihan terapi yang sesuai dengan keadaan diri subjek. Disini psikolog memilih untuk memberikan penanganan cukup dengan melakukan terapi desensitisasi sistematis, yaitu dengan memberikan beberapa tahap mulai dari tahapan yang ringan atau objek yang belum samapai mendekati objek yang ditakuti subjek sampai tahapan cukup berat atau mendekati objek yang ditakuti subjek yaitu nasi.

4. PELAKSANAAN TERAPI
Pada tahap ini proses terapi mulai dilakukan. Perawatan mencangkup sehari di ruangan terapi dengan ditemani therapist atau psikolog dan kemudian dilanjutkan dengan beberapa hari kemudian yang disesuaikan dengan kebutuhan subjek. Selain itu pengontrolan juga dapat dilakukan di rumah dengan melihat perilaku subjek yang berkaitan dengan perilakunya terhadap nasi.

5. CONTROLLING
Pada tahap ini pengontrolan terhadap terapi dan klien dilakukan. Pengontrolan dapat dilakukan di tenpat terapis atau di rumah melalui significant others dengan melihat perilaku subjek yang berkaitan dengan perilakunya terhadap nasi.

6. EVALUASI
Setelah melakukan rangkaian terapi dan pengontrolan perilaku subjek, maka psikolog dapat melakukan evaluasi, yaitu untuk melihat keberhasilan atau kegagalan proses terapi yang dijalani subjek. Dalam kasus Andi, terapi yang dilakukan dengan Desentisisasi sistematis ternyata cukup berhasil. Disini dapat dilihat bahwa Andi yang sebelumnya sangat tidak ingin melihat nasi dan juga membayangkan nasi, sekarang ini Andi sudah tidak begitu jijik dan mual lagi jikalau dia melihat atau membayangkan nasi. Meskipun untuk menjadikan nasi sebagai menu utama asupan karbohidratnya masih belum tercapai namun Andi sudah mulai mencoba nasi sebagai asupan karbohidrat disamping mie instan.

A. 1) Case Name : Pendekatan
2) Pre Condition : None
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menyapa klien
- Menanyakan biodata ringkas klien
- Membuat nyaman klien
5) Post Condition : Anamnesa
6) Actor Who Gets Benefit : Klien dan Terapis

B. 1) Case Name : Anamnesa
2) Pre Condition : Pendekatan
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menanyakan identitas lengkap klien
- Menanyakan latar belakang klien
- Menanyakan riwayat hidup klien
- Menanyakan relasi sosial klien
- Menanyakan penyebab dari gangguan yang dihadapi klien
5) Post Condition : Pilih terapi
6) Actor Who Gets Benefit : Terapis

C. 1) Case Name : Memilih terapi
2) Pre Condition : Anamnesa
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menyiapkan hal-hal yang akan diperlukan untuk proses
terapi
- Menjelaskan kepada klien mengenai terapi yang akan
digunakan atau diterapkan
5) Post Condition : Pelaksanaan Terapi
6) Actor Who Gets Benefit : Terapis

D. 1) Case Name : Pelaksanaan terapi
2) Pre Condition : Pilih terapi
3) Actor Who Initiates : Klien & terapis
4) Step : - Memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan terapi
- Membuat rancangan tentang pelaksaan terapi
- Membuat catatan mengenai kemajuan pelaksanaan terapi
5) Post Condition : Controlling
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis

E. 1) Case Name : Controlling
2) Pre Condition : Pelaksanaan terapi
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Mengawasi dan memantau keberlangsungan jalannya
proses terapi
- Mencatat hal-hal yang penting selama berlangsungnya
proses terapi
5) Post Condition : Evaluasi
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis

F. 1) Case Name : Evaluasi
2) Pre Condition : Pelaksanaan terapi
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Membuat hipotesis mengenai terapi yang sudah dilakukan
- Memberikan hasil dari terapi yang sudah dilakukan berupa masukan atau saran kepada klien
- Melakukan terapi ulang jika diperlukan.
5) Post Condition : None
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis


 KASUS 2 : Phobia atau Ketakutan akan berbicara di depan umum
Phobia atau Ketakutan akan berbicara di depan umum merupakan ketakutan dan kecemasan yang dialami oleh individu pada saat berbicara di depan umum seperti berpidato, membawakan puisi, sajak, mengajar dan sebagainya. Phobia ini dapat menghambat perkembangan kognitif individu dalam meningkatkan dan mengoptimalkan rasa percaya diri (self-confidence) individu.

1. PENDEKATAN
Disini psikolog biasanya akan melakukan pendekatan dengan subjek melalui rapport atau pengenalan awal terlebih dahulu untuk mencairkan suasana agar subjek dapat menjadi lebih santai dan agar subjek juga dapat merasakan suasana yang nyaman.

2. MENGGALI INFORMASI ATAU ANAMNESA
Informasi yang diperoleh psikolog untuk kasus Rina didapatkan melalui observasi langsung kepada Rina, serta melalui wawancara dengan orang tua Rina. Wawancara tersebut mencangkup pertanyaan seputar perilaku apa saja yang biasa dilakukan Rina, latar belakang pola asuh dalam keluarga, serta perlakuan apa saja yang diterima Rina dari orang tuanya dan lingkungan sekitarnya berkaitan dengan perilaku phobia atau ketakutan akan berbicara di depan umum.

3. MEMILIH TERAPI YANG TEPAT
Dalam kasus Rina, psikolog memilih terapi Cognitive Emotional Therapy untuk meningkatkan Self-Confidence atau rasa percaya diri dan pengendalian emosional Subjek sebagai solusi dari masalah ketakutan atau phobia akan berbicara di depan umum.

4. PELAKSANAAN TERAPI
Dalam terapi Cognitive Emotional Therapy, Rina diberikan beberapa trik atau cara bagaimana mengendalikan emosi dan memfokuskan kognisi atau pikiran terhadap perasaan yang akan dialami pada saat berbicara didepan umum. Rina juga diajarkan beberapa cara untuk memunculkan rasa percaya diri apabila diminta untuk berbicara didepan umum. Untuk orang tua Rina, mereka diminta agar terus memotivasi Rina agar Rina lebih bersemangat dan optimis akan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dialaminya.

5. CONTROLLING
Pada tahap ini pengontrolan terhadap terapi dan klien dilakukan. Pengontrolan dapat dilakukan di tenpat terapis atau di tempat lain melalui significant others dengan melihat perilaku subjek yang berkaitan dengan perilakunya berbicara didepan umum.

6. EVALUASI
Selama 4 hari pelaksanaan terapi, Rina mulai memperlihatkan kemajuan dalam memunculkan rasa percaya dirinya untuk berbicara di depan umum, namun pengendalian emosi masih belum dikuasai Rina. Pelaksanaan terapi pun masih berlanjut dan terus di intensifkan. Pada 2 hari berikutnya Rina mulai memberikan respon positif mengenai kemampuannya dalam pengendalian emosinya apabila dirinya berbicara didepan umum. Psikolog dan orang tua Rina pun semakin optimis akan perkembangan Rina yang terus meningkat. Pada hari terakhir yang direncanakan untuk mengoptimalkan terapi, akhirnya Rina benar-benar mampu memperlihatkan rasa percaya dirinya dan kemampuan pengendalian emosi disertai memfokuskan pikirannya agar dia mampu mengatasi ketakutan atau phobia akan berbicara didepan umum. Dengan demikian, Rina pun dianggap berhasil melaksanakan terapi yang diberikan oleh psikolog.
A. 1) Case Name : Pendekatan
2) Pre Condition : None
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menyapa klien
- Menanyakan biodata ringkas klien
- Membuat nyaman klien
5) Post Condition : Anamnesa
6) Actor Who Gets Benefit : Klien dan Terapis

B. 1) Case Name : Anamnesa
2) Pre Condition : Pendekatan
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menanyakan identitas lengkap klien
- Menanyakan latar belakang klien
- Menanyakan riwayat hidup klien
- Menanyakan relasi sosial klien
- Menanyakan penyebab dari gangguan yang dihadapi klien
5) Post Condition : Pilih terapi
6) Actor Who Gets Benefit : Terapis

C. 1) Case Name : Memilih terapi
2) Pre Condition : Anamnesa
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menyiapkan hal-hal yang akan diperlukan untuk proses
terapi
- Menjelaskan kepada klien mengenai terapi yang akan
digunakan atau diterapkan
5) Post Condition : Pelaksanaan Terapi
6) Actor Who Gets Benefit : Terapis

D. 1) Case Name : Pelaksanaan terapi
2) Pre Condition : Pilih terapi
3) Actor Who Initiates : Klien & terapis
4) Step : - Memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan terapi
- Membuat rancangan tentang pelaksaan terapi
- Membuat catatan mengenai kemajuan pelaksanaan terapi
5) Post Condition : Controlling
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis

E. 1) Case Name : Controlling
2) Pre Condition : Pelaksanaan terapi
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Mengawasi dan memantau keberlangsungan jalannya
proses terapi
- Mencatat hal-hal yang penting selama berlangsungnya
proses terapi
5) Post Condition : Evaluasi
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis

F. 1) Case Name : Evaluasi
2) Pre Condition : Pelaksanaan terapi
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Membuat hipotesis mengenai terapi yang sudah dilakukan
- Memberikan hasil dari terapi yang sudah dilakukan berupa masukan atau saran kepada klien
- Melakukan terapi ulang jika diperlukan.
5) Post Condition : None
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis


 KASUS 3: Phobia atau Ketakutan terhadap Air (Hydrophobia)
Phobia atau ketakutan terhadap air merupakan ketakutan, kecemasan yang dialami oleh subjek yang menganggap bahwa air adalah sesuatu yang harus dihindari dan merupakan sesuatu yang menakutkan melebihi apapun dan dapat mengancam jiwa atau keselamatannya. Subjek meyakini kalau air adalah sumber bahaya dan dapat memunculkan hal-hal yang mengerikan.

1. PENDEKATAN
Disini psikolog biasanya akan melakukan pendekatan dengan subjek melalui rapport atau pengenalan awal terlebih dahulu untuk mencairkan suasana agar subjek dapat menjadi lebih santai dan agar subjek juga dapat merasakan suasana yang nyaman.

2. MENGGALI INFORMASI ATAU ANAMNESA
Pada tahap ini psikolog melakukan wawancara dengan significant other (istri Rudy) untuk mengetahui lebih jauh penyebab dari ketakutan Rudi terhadap air. Psikolog memberikan beberapa pertanyaan seperto Kapan pertama kali Rudy memperlihatkan perilaku phobianya, Apa yang Rudy lakukan jika berinteraksi dengan air, Bagaimana Rudy memberikan gambaran terhadap ketakutannya akan air, dan sebagainya. Di samping itu, psikolog juga dapat mengobservasi perilaku Rudy ketika berada di rumah dan ketika Rudy berada di ruang terapi.
3. MEMILIH TERAPI YANG TEPAT
Psikolog akan memberikan terapi Emotional Freedom Technique (EFT) adalah sebuah terapi psikologi praktis yang dapat menangani banyak penyakit, baik itu penyakit fisik dan penyakit psikologis (masalah pikiran dan perasaan). Dapat dikatakan EFT adalah versi psikologi dari terapi akupunktur yang menggunakan jarum. EFT tidak menggunakan jarum, melainkan dengan menyelaraskan sistem energi tubuh pada titik-titik meridian di tubuh Anda, dengan cara mengetuk (tapping) dengan ujung jari. Emotional Freedom Technique (EFT) dipilih untuk menghilangkan hambatan-hambatan emosi seperti marah, kecewa, sedih, cemas, stress, trauma dsb. Subjek akan diberikan suasana sedemikian rupa yang berhubungan dengan objek phobianya yaitu air. Dalam menjalankan proses terapi ini keberhasilan sepenuhnya ditentukan oleh keseriusan subjek untuk mengatasi phobianya dan kerja sama subjek dalam pemberian terapi.

4. PELAKSANAAN TERAPI
Pada sesi pertama subjek di berikan tapping di 18 titik meredian tubuh untuk mengatasi hampir semua hambatan emosi dan fisik. Dalam pemberian tapping, subjek diberikan sugesti terlebih dahulu agar tapping yang diberikan dapat optimal. Setelah subjek merespon positif tapping yang diberikan, dilanjutkan ke sesi kedua. Di sesi kedua ini subjek mulai diberikan control emosi untuk mengatasi hambatan-hambatan emosi yang muncul seperti cemas, stress dan takut. Pada sesi yang kedua ini mulai memberikan hasil yang cukup baik dengan perilaku subjek yang berani melihat gambar air di sungai kemudia subjek mulai mendekati gambar itu lalu mulai menyentuh gambar tersebut. Dengan demikian, psikolog mulai meningkatkan sugesti dan memberikan gambar air di lautan yang luas, namun dalam hal ini subjek menunjukkan penolakan dan mulai kehilangan kontrol emosinya. Akhirnya psikolog pun menghentikan terapi dan berhenti pada sugesti untuk gambar air disungai.

5. CONTROLLING
Pada tahap ini pengontrolan terhadap terapi dan klien dilakukan. Pengontrolan dapat dilakukan di tenpat terapis atau di tempat lain melalui significant others dengan melihat perilaku subjek yang berkaitan dengan perilakunya terhadap air.

6. EVALUASI
Setelah proses terapi yang dilakukan kemarin. Psikolog menyarankan Rudy untuk melihat air di kolam ikan dengan ditemani istri dan adiknya. Rudy pun mengikuti saran psikolog dan Rudy berhasil mengatasi ketakutannya untuk melihat air yang berkumpul di kolam ikan. Pada hari berikutnya Rudy yang didampingi istrinya mulai melanjutkan hasil terapinya dengan mendatangi sungai yang lokasinya di daerah tempat tinggal Rudy untuk melihat air yang berkumpul disungai dan kembali Rudy mampu mengatasi ketakutannya atau emosi negatif. Meskipun Rudy mampu mengatasi ketakutannya terhadap air dikolam ikan dan disungai dan masih belum mampu mengatasi ketakutannya terhadap air dilaut, psikolog menyatakan Rudy berhasil menerima terapi dengan cukup baik. Dengan demikian psikolog memuji keseriusan dan usaha Rudy untuk mau mengatasi ketakutannya terhadap air walaupun belum berhasil sepenuhnya.
A. 1) Case Name : Pendekatan
2) Pre Condition : None
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menyapa klien
- Menanyakan biodata ringkas klien
- Membuat nyaman klien
5) Post Condition : Anamnesa
6) Actor Who Gets Benefit : Klien dan Terapis

B. 1) Case Name : Anamnesa
2) Pre Condition : Pendekatan
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menanyakan identitas lengkap klien
- Menanyakan latar belakang klien
- Menanyakan riwayat hidup klien
- Menanyakan relasi sosial klien
- Menanyakan penyebab dari gangguan yang dihadapi klien
5) Post Condition : Pilih terapi
6) Actor Who Gets Benefit : Terapis

C. 1) Case Name : Memilih terapi
2) Pre Condition : Anamnesa
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Menyiapkan hal-hal yang akan diperlukan untuk proses
terapi
- Menjelaskan kepada klien mengenai terapi yang akan
digunakan atau diterapkan
5) Post Condition : Pelaksanaan Terapi
6) Actor Who Gets Benefit : Terapis

D. 1) Case Name : Pelaksanaan terapi
2) Pre Condition : Pilih terapi
3) Actor Who Initiates : Klien & terapis
4) Step : - Memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan terapi
- Membuat rancangan tentang pelaksaan terapi
- Membuat catatan mengenai kemajuan pelaksanaan terapi
5) Post Condition : Controlling
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis

E. 1) Case Name : Controlling
2) Pre Condition : Pelaksanaan terapi
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Mengawasi dan memantau keberlangsungan jalannya
proses terapi
- Mencatat hal-hal yang penting selama berlangsungnya
proses terapi
5) Post Condition : Evaluasi
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis

F. 1) Case Name : Evaluasi
2) Pre Condition : Pelaksanaan terapi
3) Actor Who Initiates : Terapis
4) Step : - Membuat hipotesis mengenai terapi yang sudah dilakukan
- Memberikan hasil dari terapi yang sudah dilakukan berupa masukan atau saran kepada klien
- Melakukan terapi ulang jika diperlukan.
5) Post Condition : None
6) Actor Who Gets Benefit : Klien & Terapis

Senin, 04 April 2011

PEMETAAN BISNIS PROSES PSIKOTERAPI KE DALAM DESAIN AWAL SISTEM INFORMASI

PEMETAAN BISNIS PROSES PSIKOTERAPI KE DALAM DESAIN AWAL SISTEM INFORMASI

Disini akan dijelaskan mengenai proses-proses terapi untuk berbagai macam kasus dengan menggunakan pemetaan bisnis proses. Dengan tahapan :
1. Pendekatan
2. Menggali informasi tentang subjek
3. Memilih terapi yang tepat
4. Pelaksanaan terapi dan pengontrolan
5. Evaluasi
Kasus-kasus yang akan dijabarkan ke dalam pemetaan bisnis proses diantaranya, seperti :
1) Phobia Terhadap Nasi
Phobia terhadap nasi merupakan suatu ketakutan yang dialami oleh individu yang disebabkan oleh hal-hal semacam takut terhadap nasi, jijik melihat nasi dan sebagainya. Individu yang umumnya mengalami hal ini dikarenakan adanya pengalaman traumatis yang dialami individu dalam mengkonsumsi nasi itu sendiri.

Contoh kasus Phobia terhadap nasi :
Andi (16 tahun) adalah anak dari seorang Pegawai swasta di Jakarta. Pada usia 6 tahun, Andi mengalami sakit panas yang sangat serius yang diakibatkan oleh pola makan Andi yang tida tertatur. Karena harus mendapatkan perawatan yang intensif di Rumah Sakit dan pola makan Andi juga yang sangat diawasi dengan ketat, Andi selalu mendapat menu makan dengan nasi putih hangat yang menjadi sumber karbohidrat utamanya selama dirawat di Rumah sakit . Andi menghabiskan perawatan di Rumah sakit kurang lebih 4 bulan.
Setelah Andi sembuh dan sudah tidak dirawat lagi di rumah sakit, Andi masih menyukai nasi putih sebagai asupan utama karbohidratnya namun setelah beberapa hari kemudian, Andi mulai ketakutan dan mual kalau dia memakan nasi atau melihat nasi. Dari semenjak itulah sampai sekarang Andi tidak mau lagi memilih nasi sebagai asupan utama karbohidratnya. Untuk kebutuhan makan sehari-harinya, Andi mengganti nasi dengan mie instant. Melihat hal tersebut, kedua orang tua Andi pun menjadi prihatin dan sedih sehingga mereka ingin Andi kembali menyukai nasi sebagai asupan utama karbohidratnya atau kebutuhan makan sehari-harinya.



Dari kasus diatas dapat kita buat pemetaan bisnis prosesnya yaitu:
1. Pendekatan
Disini psikolog biasanya akan melakukan pendekatan dengan subjek melalui rapport atau pengenalan awal terlebih dahulu untuk mencairkan suasana agar subjek dapat menjadi lebih santai dan agar subjek juga dapat merasakan suasana yang nyaman.
2. Menggali informasi tentang subjek
Pada tahap ini psikolog akan melakukan wawancara kepada subjek (Andi) mengenai permasalahan apa yang sedang dihadapi, atau bisa juga psikolog bertanya kepada significant other (orang tua Andi). Seperti menanyakan latar belakang keluarga subjek, latar belakang pendidikan, hubungan subjek dengan orang lain, dll.
Selain wawancara langsung psikolog juga bisa melakukan observasi langsung tanpa atau dengan pengetahuan subjek. Seperti mengamati perilaku subjek sehari-hari, lalu mencatatnya. Baru setelah itu psikolog dapat membuat diagnosa tentang diri subjek, dalam hal ini Andi dinyatakan mengalami ketakutan atau phobia terhadap nasi.
3. Memilih terapi yang tepat
Dalam kasus Andi, psikolog dapat memberikan pilihan terapi yang sesuai dengan keadaan diri subjek. Disini psikolog memilih untuk memberikan penanganan cukup dengan melakukan terapi desensitisasi sistematis, yaitu dengan memberikan beberapa tahap mulai dari tahapan yang ringan atau objek yang belum samapai mendekati objek yang ditakuti subjek sampai tahapan cukup berat atau mendekati objek yang ditakuti subjek yaitu nasi.
4. Pelaksanaan terapi dan pengontrolan
Pada tahap ini proses terapi dan pengontrolan mulai dilakukan. Perawatan mencangkup sehari di ruangan terapi dengan ditemani therapist atau psikolog dan kemudian dilanjutkan dengan beberapa hari kemudian yang disesuaikan dengan kebutuhan subjek. Selain itu pengontrolan juga dapat dilakukan di rumah dengan melihat perilaku subjek yang berkaitan dengan perilakunya terhadap nasi.
5. Evaluasi
Setelah melakukan rangkaian terapi dan pengontrolan perilaku subjek, maka psikolog dapat melakukan evaluasi, yaitu untuk melihat keberhasilan atau kegagalan proses terapi yang dijalani subjek. Dalam kasus Andi, terapi yang dilakukan dengan Desentisisasi sistematis ternyata cukup berhasil. Disini dapat dilihat bahwa Andi yang sebelumnya sangat tidak ingin melihat nasi dan juga membayangkan nasi, sekarang ini Andi sudah tidak begitu jijik dan mual lagi jikalau dia melihat atau membayangkan nasi. Meskipun untuk menjadikan nasi sebagai menu utama asupan karbohidratnya masih belum tercapai namun Andi sudah mulai mencoba nasi sebagai asupan karbohidrat disamping mie instan.

2) Phobia atau Ketakutan akan berbicara di depan umum
Phobia atau Ketakutan akan berbicara di depan umum merupakan ketakutan dan kecemasan yang dialami oleh individu pada saat berbicara di depan umum seperti berpidato, membawakan puisi, sajak, mengajar dan sebagainya. Phobia ini dapat menghambat perkembangan kognitif individu dalam meningkatkan dan mengoptimalkan rasa percaya diri (self-confidence) individu.

Contoh Kasus Phobia atau Ketakutan akan berbicara di depan umum
Rina (19 tahun) merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Orang tua Rina yang berprofesi sebagai Pengajar atau guru di Sekolah swasta. Rina mengalami phobia atau ketakutan akan berbicara di depan umum ini mulai dari kelas 4 SD yaitu pada saat Rina berusia 10 tahun. Ketika itu Rina diminta oleh gurunya untuk membawakan cerita yang dia buat mengenai pengalaman liburannya bersama keluarganya didepan kelas. Awalnya Rina masih mampu mengendalikan kecemasan dan kekhawatirannya untuk berbicara didepan kelas, namun beberapa saat kemudian Rina pun mulai tidak mampu mengendalikan kecemasan dan kekhawatirannya untuk berbicara didepan kelas dan pada akhirnya Rina pun menangis dan tidak mau melanjutkan kegiatan belajar mengajar atau meminta untuk pulang ke rumah.
Mulai saat itulah sampai sekarang ini Rina mengalami phobia atau ketakutan akan berbicara di depan umum. Pada dasarnya Rina memang anak yang pendiam namun Rina tergolong anak yang memiliki rasa untuk bersosialisasi yang cukup tinggi. Melihat kondisi Rina yang phobia atau takut untuk berbicara di depan umum semakin parah dan semakin mengkhawatirkan membuat kedua orang tuanya sedih dan ingin membantu Rina mengatasi masalah phobia atau ketakutannya untuk berbicara di depan umum tersebut. Akhirnya orang tua Rina memutuskan untuk membawa Rina ke psikolog.

Pemetaan bisnis proses untuk contoh kasus diatas yaitu:
1. Pendekatan
Disini psikolog biasanya akan melakukan pendekatan dengan subjek melalui rapport atau pengenalan awal terlebih dahulu untuk mencairkan suasana agar subjek dapat menjadi lebih santai dan agar subjek juga dapat merasakan suasana yang nyaman.

2. Menggali informasi tentang subjek
Informasi yang diperoleh psikolog untuk kasus Rina didapatkan melalui observasi langsung kepada Rina, serta melalui wawancara dengan orang tua Rina. Wawancara tersebut mencangkup pertanyaan seputar perilaku apa saja yang biasa dilakukan Rina, latar belakang pola asuh dalam keluarga, serta perlakuan apa saja yang diterima Rina dari orang tuanya dan lingkungan sekitarnya berkaitan dengan perilaku phobia atau ketakutan akan berbicara di depan umum.
3. Memilih terapi yang tepat
Dalam kasus Rina, psikolog memilih terapi Cognitive Emotional Therapy untuk meningkatkan Self-Confidence atau rasa percaya diri dan pengendalian emosional Subjek sebagai solusi dari masalah ketakutan atau phobia akan berbicara di depan umum.
4. Pelaksanaan terapi dan pengontrolan
Dalam terapi Cognitive Emotional Therapy, Rina diberikan beberapa trik atau cara bagaimana mengendalikan emosi dan memfokuskan kognisi atau pikiran terhadap perasaan yang akan dialami pada saat berbicara didepan umum. Rina juga diajarkan beberapa cara untuk memunculkan rasa percaya diri apabila diminta untuk berbicara didepan umum. Untuk orang tua Rina, mereka diminta agar terus memotivasi Rina agar Rina lebih bersemangat dan optimis akan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dialaminya.
5. Evaluasi
Selama 4 hari pelaksanaan terapi, Rina mulai memperlihatkan kemajuan dalam memunculkan rasa percaya dirinya untuk berbicara di depan umum, namun pengendalian emosi masih belum dikuasai Rina. Pelaksanaan terapi pun masih berlanjut dan terus di intensifkan. Pada 2 hari berikutnya Rina mulai memberikan respon positif mengenai kemampuannya dalam pengendalian emosinya apabila dirinya berbicara didepan umum. Psikolog dan orang tua Rina pun semakin optimis akan perkembangan Rina yang terus meningkat. Pada hari terakhir yang direncanakan untuk mengoptimalkan terapi, akhirnya Rina benar-benar mampu memperlihatkan rasa percaya dirinya dan kemampuan pengendalian emosi disertai memfokuskan pikirannya agar dia mampu mengatasi ketakutan atau phobia akan berbicara didepan umum. Dengan demikian, Rina pun dianggap berhasil melaksanakan terapi yang diberikan oleh psikolog.




3) Phobia atau Ketakutan terhadap Air (Hydrophobia)
Phobia atau ketakutan terhadap air merupakan ketakutan, kecemasan yang dialami oleh subjek yang menganggap bahwa air adalah sesuatu yang harus dihindari dan merupakan sesuatu yang menakutkan melebihi apapun dan dapat mengancam jiwa atau keselamatannya. Subjek meyakini kalau air adalah sumber bahaya dan dapat memunculkan hal-hal yang mengerikan.

Contoh Kasus Phobia atau Ketakutan terhadap Air atau Hydrophobia
Rudy merupakan laki-laki paruh baya yang berusia 36 tahun. Rudy memiliki satu orang anak perempuan yang berusia 12 tahun dan istri Rudy berusia 30 tahun. Pada awalnya Rudy tidak menyadari bahwa dirinya memiliki ketakutan yang sangat hebat terhadap air. Meski demikian Rudy tetap menjalankan kebutuhan untuk menjaga kebersihan dirinya untuk mandi 2 kali sehari pagi dan sore dengan waktu yang cukup singkat antara 5 sampai 10 menit. Rudy masih membutuhkan air untuk kebutuhan hidupnya seperti minum, mandi, cuci tangan dan sebagainya. Ketakutan Rudy terhadap air akan muncul apabila melihat air dengan skala besar seperti air dalam kolam ikan, air disungai dan sampai air dilaut.
Rudy pertama kali merasakan ketakutannya ketika berusia 7 tahun, dimana pada saat itu Rudy tergelincir masuk kedalam bak mandi dikamar mandi milik pamannya. Meskipun Rudy tidak sampai tenggelam dalam bak mandi tersebut namun dirinya merasa sangat ketakutan terhadap air yang ada dalam bak mandi tersebut. Oleh karena pengalaman buruknya itu Rudi tidak menggunakan bak mandi di kamar mandinya. Ketika di Tanya lebih lanjut bahwa apa yang membuat Rudy takut, apakah air atau bak mandinya, Rudy menjawab dengan tegas bahwa air lah yang dia takutkan. Air yang berkumpul dalam wadah yang cukup besar seperti bak mandi sekali pun merupakan sesuatu yang sangat menakutkan dan mengancam jiwanya. Melihat keadaan Rudy yang semakin parah akan ketakutannya terhadap air, membuat istri Rudy dan adik Rudy merekomendasikan Rudy untuk berkonsultasi kepada psikolog dengan harapan Rudy mampu mengatasi ketakutannya terhadap air.

Pemetaan bisnis proses untuk contoh kasus diatas, yaitu :
1. Pendekatan
Disini psikolog biasanya akan melakukan pendekatan dengan subjek melalui rapport atau pengenalan awal terlebih dahulu untuk mencairkan suasana agar subjek dapat menjadi lebih santai dan agar subjek juga dapat merasakan suasana yang nyaman.


2. Menggali informasi tentang subjek
Pada tahap ini psikolog melakukan wawancara dengan significant other (istri Rudy) untuk mengetahui lebih jauh penyebab dari ketakutan Rudi terhadap air. Psikolog memberikan beberapa pertanyaan seperto Kapan pertama kali Rudy memperlihatkan perilaku phobianya, Apa yang Rudy lakukan jika berinteraksi dengan air, Bagaimana Rudy memberikan gambaran terhadap ketakutannya akan air, dan sebagainya. Di samping itu, psikolog juga dapat mengobservasi perilaku Rudy ketika berada di rumah dan ketika Rudy berada di ruang terapi.
3. Memilih terapi yang tepat
Psikolog akan memberikan terapi Emotional Freedom Technique (EFT) adalah sebuah terapi psikologi praktis yang dapat menangani banyak penyakit, baik itu penyakit fisik dan penyakit psikologis (masalah pikiran dan perasaan). Dapat dikatakan EFT adalah versi psikologi dari terapi akupunktur yang menggunakan jarum. EFT tidak menggunakan jarum, melainkan dengan menyelaraskan sistem energi tubuh pada titik-titik meridian di tubuh Anda, dengan cara mengetuk (tapping) dengan ujung jari. Emotional Freedom Technique (EFT) dipilih untuk menghilangkan hambatan-hambatan emosi seperti marah, kecewa, sedih, cemas, stress, trauma dsb. Subjek akan diberikan suasana sedemikian rupa yang berhubungan dengan objek phobianya yaitu air. Dalam menjalankan proses terapi ini keberhasilan sepenuhnya ditentukan oleh keseriusan subjek untuk mengatasi phobianya dan kerja sama subjek dalam pemberian terapi.
4. Pelaksanaan terapi dan pengontrolan
Pada sesi pertama subjek di berikan tapping di 18 titik meredian tubuh untuk mengatasi hampir semua hambatan emosi dan fisik. Dalam pemberian tapping, subjek diberikan sugesti terlebih dahulu agar tapping yang diberikan dapat optimal. Setelah subjek merespon positif tapping yang diberikan, dilanjutkan ke sesi kedua. Di sesi kedua ini subjek mulai diberikan control emosi untuk mengatasi hambatan-hambatan emosi yang muncul seperti cemas, stress dan takut. Pada sesi yang kedua ini mulai memberikan hasil yang cukup baik dengan perilaku subjek yang berani melihat gambar air di sungai kemudia subjek mulai mendekati gambar itu lalu mulai menyentuh gambar tersebut. Dengan demikian, psikolog mulai meningkatkan sugesti dan memberikan gambar air di lautan yang luas, namun dalam hal ini subjek menunjukkan penolakan dan mulai kehilangan kontrol emosinya. Akhirnya psikolog pun menghentikan terapi dan berhenti pada sugesti untuk gambar air disungai.


5. Evaluasi
Setelah proses terapi yang dilakukan kemarin. Psikolog menyarankan Rudy untuk melihat air di kolam ikan dengan ditemani istri dan adiknya. Rudy pun mengikuti saran psikolog dan Rudy berhasil mengatasi ketakutannya untuk melihat air yang berkumpul di kolam ikan. Pada hari berikutnya Rudy yang didampingi istrinya mulai melanjutkan hasil terapinya dengan mendatangi sungai yang lokasinya di daerah tempat tinggal Rudy untuk melihat air yang berkumpul disungai dan kembali Rudy mampu mengatasi ketakutannya atau emosi negatif. Meskipun Rudy mampu mengatasi ketakutannya terhadap air dikolam ikan dan disungai dan masih belum mampu mengatasi ketakutannya terhadap air dilaut, psikolog menyatakan Rudy berhasil menerima terapi dengan cukup baik. Dengan demikian psikolog memuji keseriusan dan usaha Rudy untuk mau mengatasi ketakutannya terhadap air walaupun belum berhasil sepenuhnya.