Jumat, 20 November 2009

Expectancy Theory Vroom

Menurut Vroom (dalam Donovan, 2001), orang termotivasi untuk melakukan perilaku tertentu berdasarkan tiga persepsi:

  • Expectancy: seberapa besar kemungkinan jika mereka melakukan perilaku tertentu mereka akan mendapatkan hasil kerja yang diharapkan (yaitu prestasi kerja yang tinggi)
  • Instrumentality: seberapa besar hubungan antara prestasi kerja dengan hasil kerja yang lebih tinggi (yaitu penghasilan, baik berupa gaji ataupun hal lain yang diberikan perusahaan seperti asuransi kesehatan, transportasi, dsb)
  • Valence: seberapa penting si pekerja menilai penghasilan yang diberikan perusahaan kepadanya

Contoh Kasus: Kita akan menggunakan Contoh Kasus PHK seperti yang telah digunakan sebelumnya. Dari sudut pandang Expectancy Theory, para pekerja tidak termotivasi untuk bekerja keras karena tidak adanya hubungan antara prestasi kerja dengan penghasilan. Persepsi mereka adalah bahwa kerja keras tidak akan memberikan mereka penghasilan yang diharapkan. Malahan, dengan adanya PHK, mereka memiliki persepsi bahwa walaupun telah bekerja keras, kadang-kadang mereka malah mendatangkan hasil yang tidak diinginkan, misalnya PHK. Konsisten dengan teori ini, para pekerja pun menunjukkan motivasi yang rendah dalam melakukan pekerjannya.

Rekomendasi: Kaitkan penghasilan dengan prestasi. Sesuai dengan Expectancy Theory (Vroom, dalam Donovan, 2001), tiga hal akan direkomendasikan untuk perusahaan dalam Contoh Kasus kita:

  • Tingkatkan Expectancy: Para pekerja perlu merasa bahwa mereka mampu mencapai prestasi yang tinggi. Jika perlu, perusahaan perlu memberikan pelatihan untuk memastikan bahwa para karyawan memang memiliki keahlian yang dituntut oleh masing-masing pekerjaannya.
  • Tingkatkan Instrumentality: Ciptakan reward system yang terkait dengan prestasi. Misalnya, selain gaji pokok, tim yang berhasil mencapai targetnya secara konsisten akan mendapatkan bonus. Dengan cara ini, para karyawan mengetahui bahwa prestasi yang lebih baik memang benar akan mendatangkan penghasilan yang lebih baik pula.
  • Tingkatkan Valence: Karena masing-masing individu memiliki penilaian yang berbeda, sangatlah sulit bagi perusahaan untuk merancang reward system yang memiliki nilai tinggi bagi setiap individu karyawan. Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan memberikan poin bonus yang bisa ditukarkan dengan berbagai jenis hal sesuai kebutuhan individu, misalnya poin bonus bisa ditukarkan dengan hari cuti, uang, kupon makan, dsb. Konsekuensi dari program ini adalah perusahaan harus menerapkan sistem pencatatan yang rapi untuk memastikan bahwa masing-masing karyawan mendapatkan poin bonus secara adil.

JOB ENRICHMENT

Job Enrichment (Pengayaan Pekerjaan) dan Goal Setting (Penetapan Target). Metode paling popular untuk menerapkan Job Characteristic Model adalah Job Enrichment. Metode ini telah digunakan dengan cukup sukses di banyak perusahaan sejak tahun 70-an seperti AT&T dan Western Union di Amerika Serikat, Norsk Hydro di Norwegia, dan Volvo Corporation di Swedia (Australian Department of Labour, 1974).

Seperti layaknya solusi-solusi lain di dunia kerja, Job Enrichment tentu saja tidak dapat dianggap obat yang dapat menyembuhkan segala jenis penyakit. Secara khusus Landy (1989) menyebutkan bahwa Job Enrichment justru dapat merugikan para pekerja yang telah terstimulasi secara optimal dalam pekerjaannya. Pekerja yang telah optimal seperti ini akan mengalami overstimulasi jika pekerjaannya disertakan dalam program Job Enrichment (Landy, 1989). Karena Contoh Kasus kita di atas lebih banyak mencakup pekerja yang mendapatkan tugas yang mudah dan repetitif, Job Enrichment sangat cocok untuk diterapkan. Lebih baik lagi jika program ini digabungkan dengan Penetapan Target, sehingga target yang ditetapkan dapat dirancang sesuai dengan pekerjaan yang telah melalui program Job Enrichment.

Sejalan dengan lima karakteristik pekerjaan yang dibahas dalam teori Job Characteristic Model (Judge et al, 2001), program Job Enrichment dan Penetapan Target yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:

  • Mengelompokkan pekerja dalam tim yang baru: Saat ini pekerja dikelompokkan berdasarkan langkah tertentu dalam proses ban berjalan, misalnya kelompok pengisi kaleng, penyegel kaleng, pengisi dus, dsb. Tim yang direkomendasikan adalah tim yang terdiri dari orang-orang dengan keahlian yang berbeda. Masing-masing tim akan diberi tanggung jawab untuk memenuhi pesanan pelanggan tertentu. Dengan cara ini, task identity dan task significance akan meningkat bagi semua pekerja, karena mereka dapat melihat keseluruhan proses mulai dari awal hingga akhir, dan juga mereka dapat melihat bahwa apa yang mereka lakukan adalah penting bagi rekan-rekan sesama tim maupun pelanggan (Judge et al, 2001). Selain itu, autonomy juga dapat meningkat karena masing-masing tim dapat menentukan bagaimana cara yang terbaik bagi mereka untuk menyelesaikan pekerjaan mereka (Judge et al, 2001). Misalnya anggota tim dapat menentukan pembagian tugas di antara mereka. Salah satu konsekuensi dari program ini adalah adanya kemungkinan mesin-mesin dalam pabrik harus dipindahkan sesuai dengan pengelompokkan tim yang baru ini. Untuk itu, dibutuhkan analisis finansial untuk menentukan apakah perusahaan mampu membiayai hal ini.
  • Meningkatkan keahlian pekerja: Sejalan dengan tim yang baru, masing-masing pekerja kini harus menguasai lebih dari satu keahlian dalam keseluruhan proses kerja di perusahaan. Karena itu, mereka harus belajar dari rekan sesama anggota tim (coaching), ataupun dari pelatihan yang diadakan oleh perusahaan. Manajemen perusahaan harus memformalkan proses belajar ini untuk memastikan bahwa semua pekerja memiliki waktu dan kesempatan untuk meningkatkan keahliannya (misalnya dengan menetapkan satu jam pertama dari setiap shift kerja sebagai waktu coaching). Sebagai konsekuensinya, hasil kerja kemungkinan akan menurun untuk beberapa saat karena para pekerja masih berusaha mempelajari keahlian yang baru. Namun hal ini tidak akan berlangsung lama karena keahlian-keahlian yang dibutuhkan dalam Contoh Kasus di atas bukanlah keahlian yang rumit.
  • Tetapkan target: Target haruslah spesifik dan cukup sulit sehingga pekerja termotivasi untuk mencapainya (Locke & Latham, dalam Donovan, 2001). Jika memungkinkan, lebih baik seluruh anggota tim diikutsertakan dalam menetapkan target bagi tim tersebut. Menurut penelitian, Penetapan Target yang melibatkan partisipasi anggota tim akan menciptakan response generalisation (Ludwig & Geller, 1997). Maksudnya adalah bahwa motivasi untuk mencapai hasil kerja yang lebih tinggi tidak hanya terjadi pada tugas yang ditargetkan, tapi juga terjadi pada tugas lainnya (Ludwig & Geller, 1997).
  • Berikan umpan balik: Para pekerja harus diberi informasi mengenai prestasi kerja mereka. Umpan balik ini bisa diberikan secara rutin, atau ketika ada kejadian khusus yang efeknya signifikan bagi perusahaan (Wright, 1991). Penetapan Target sangatlah berkaitan dengan pemberian Umpan Balik karena Target tanpa Umpan Balik tidaklah efektif (Ludwig & Geller, 1997), dan juga sangat sulit memberikan Umpan Balik jika sejak awal tidak ada Target yang dapat dijadikan kriteria evaluasi (Wright, 1991). Konsekuensi dari program ini adalah perusahaan harus menciptakan mekanisme untuk mencatat prestasi kerja, baik dari segi kuantitas (misalnya jumlah dus yang dikirim per hari atau waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu dus soda) maupun kualitas (misalnya tim mana yang banyak dipuji pelanggan karena tidak pernah melakukan kesalahan dalam memenuhi pesanan).

Abraham Maslow Hirarki Kebutuhan model motivasi

Abraham Maslow mengembangkan Hirarki Kebutuhan model 1940-50's USA, dan teori Hierarki Kebutuhan tetap valid hari ini untuk memahami motivasi manusia, pelatihan manajemen, dan pengembangan pribadi. Memang, ide-ide Maslow sekitar Hierarki Kebutuhan mengenai tanggung jawab pengusaha untuk menyediakan lingkungan kerja yang mendorong dan memungkinkan karyawan untuk memenuhi potensi unik mereka sendiri (aktualisasi diri) yang saat ini lebih relevan daripada sebelumnya. Abraham Maslow dalam buku Motivation and Personality, diterbitkan pada tahun 1954 (edisi kedua 1970) memperkenalkan Hierarchy of Needs, dan Maslow mengulurkan ide-ide dalam pekerjaan lain, terutama di kemudian hari Menuju Sebuah buku Psikologi Dari Menjadi, yang signifikan dan relevan komentarnya, yang telah direvisi dalam beberapa kali oleh Richard Lowry, yang berada di kanan sendiri akademis terkemuka dalam bidang psikologi motivasi.

Abraham Maslow dilahirkan di New York pada tahun 1908 dan meninggal pada tahun 1970, meskipun muncul dalam berbagai publikasi Maslow nama di tahun-tahun berikutnya. Maslow PhD dalam bidang psikologi pada tahun 1934 di University of Wisconsin membentuk dasar dari penelitian motivasi, awalnya belajar rhesus monyet. Maslow lima-tahap awal Hierarki Kebutuhan model ini dengan jelas dan secara langsung berkaitan dengan Maslow; kemudian ditambahkan versi dengan tahap motivasi tidak begitu jelas disebabkan, meskipun di dalam karyanya Maslow mengacu pada aspek-aspek tambahan ini motivasi, tetapi tidak secara khusus sebagai tingkat dalam Hierarki . Maslow's Hirarki Kebutuhan ini telah diperpanjang melalui Maslow penafsiran karya orang lain, dan ditambah ini dan diagram model akan ditampilkan sebagai adaptasi tujuh dan delapan-tahap model Hierarki Kebutuhan di bawah ini.

Free Hierarki Kebutuhan diagram di MSWord format pdf dan mirip dengan gambar di bawah ini tersedia dari halaman ini.

(NB Kata Aktualisasi / aktualisasi dapat spelt either way. Z adalah lebih disukai di Inggris Amerika. S inggris lebih disukai di Inggris. Kedua bentuk digunakan di halaman ini untuk mengaktifkan kata kunci untuk mencari ejaan baik melalui search engine.)

hierarki kebutuhan Maslow

Masing-masing dari kita adalah didorong oleh kebutuhan. Kami kebutuhan paling dasar bawaan, setelah berevolusi selama puluhan ribu tahun. Abraham Maslow Hirarki Kebutuhan akan membantu untuk menjelaskan bagaimana kebutuhan ini memotivasi kita semua.

Maslow Hirarki Kebutuhan menyatakan bahwa kita harus memenuhi setiap kebutuhan pada gilirannya, dimulai dengan yang pertama, yang berkaitan dengan kebutuhan yang paling jelas untuk kelangsungan hidup itu sendiri.

Hanya ketika urutan bawah kebutuhan fisik dan kesejahteraan emosional puas kita peduli dengan kebutuhan urutan lebih tinggi pengaruh dan pengembangan pribadi.

Sebaliknya, jika hal-hal yang memuaskan kebutuhan urutan lebih rendah hanyut, kita tidak lagi khawatir tentang pemeliharaan ketertiban yang lebih tinggi kebutuhan kita.

Maslow Hirarki Kebutuhan asli model dikembangkan antara 1943-1954, dan pertama kali diterbitkan secara luas di Motivation and Personality tahun 1954. Pada saat ini model Hierarki Kebutuhan terdiri dari lima kebutuhan. Ini versi asli tetap bagi kebanyakan orang definitif Hierarki Kebutuhan.

5 Tingkatan Kebutuhan Maslow

1. Biologi dan kebutuhan Fisiologis - udara, makanan, minuman, tempat berteduh, kehangatan, seks, tidur, dll

2. Safety needs - protection from elements, security, order, law, limits, stability, etc. 2. Safety kebutuhan - perlindungan dari unsur-unsur, keamanan, ketertiban, hukum, batas, stabilitas, dll

3. Belongingness and Love needs - work group, family, affection, relationships, etc. 3. Kepemilikan dan kebutuhan Love - kelompok kerja, keluarga, kasih sayang, hubungan, dll

4. Esteem needs - self-esteem, achievement, mastery, independence, status, dominance, prestige, managerial responsibility, etc. 4. Esteem kebutuhan - harga diri, prestasi, penguasaan, kemerdekaan, status, dominasi, prestise, tanggung jawab manajerial, dll

5. Self-Actualization needs - realising personal potential, self-fulfillment, seeking personal growth and peak experiences. 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri - menyadari potensi pribadi, pemenuhan diri, mencari pertumbuhan pribadi dan pengalaman puncak.

ma5slow's hierarchy of need

Kamis, 05 November 2009

path-goal

Teori path-goal dalam Kepemimpinan

Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.

Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).

Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).

Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.

Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.

Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan tentang pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan kepada bawahannya. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:

  1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
  2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.

Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)

  1. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)

Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.

  1. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)

Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.

2. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)

Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.

3. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)

Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.

Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.

Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).

4. Karakteristik Bawahan

Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:

1) Letak Kendali (Locus of Control)

Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.

2) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)

Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.

3) Kemampuan (Abilities)

Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.

  1. Karakteristik Lingkungan

pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:

1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.

2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.

Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:

1) Struktur Tugas

Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.

2) Wewenang Formal

Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi

3) Kelompok Kerja

Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.

MOTIVASI

Pengertian Motivasi

Salah satu aspek memanfaatkan pegawai ialah pemberian motivasi (daya perangsang) kepada pegawai, dengan istilah populer sekarang pemberian kegairahan bekerja kepada pegawai. Telah dibatasi bahwa memanfaatkan pegawai yang memberi manfaat kepada perusahaan. Ini juga berarti bahwa setiap pegawai yang memberi kemungkinan bermanfaat ke dalam perusahaan, diusahakan oleh pimimpin agar kemungkinan itu menjadi kenyataan. Usaha untuk merealisasi kemungkinan tersebut ialah dengan jalan memberikan motivasi. Motivasi ini dimaksudkan untuk memberikan daya perangsang kepada pegawai yang bersangkutan agar pegawai tersebut bekerja dengan segala daya dan upayanya (Manulang , 2002).

Menurut The Liang Gie Cs. (Matutina dkk ,1993) bahwa pekerjaan yang dialakukan oleh seseorang manajer dalam memberikan inspirasi, semangat, dan dorongan kepada orang lain (pegawai) untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini dimaksudkan untuk mengingatkan orang-orang atau pegawai agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari orang tersebut. Oleh karena itu seorang manajer dituntut pengenalan atau pemahaman akan sifat dan karateristik pegawainya, suatu kebutuhan yang dilandasi oleh motiv dengan penguasaan manajer terhadap perilaku dan tindakan yang dibatasi oleh motiv, maka manajer dapat mempengaruhi bawahannya untuk bertindak sesuai dengan keinginan organisasi.

Menurut Martoyo (2000) motivasi pada dasarnya adalah proses untuk mencoba mempengaruhi seseorang agar melakukan yang kita inginkan. Dengan kata lain adalah dorongan dari luar terhadap seseorang agar mau melaksanakan sesuatu. Dengan dorongan (driving force) disini dimaksudkan desakan yang alami untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup, dan kecendrungan untuk mempertahankan hidup. Kunci yang terpenting untuk itu tak lain adalah pengertian yang mendalam tentang manusia.

Motivasi berasal dari motive atau dengan prakata bahasa latinnya, yaitu movere, yang berarti “mengerahkan”. Seperti yang dikatakan Liang Gie dalam bukunya Martoyo (2000) motive atau dorongan adalah suatu dorongan yang menjadi pangkal seseorang melakukan sesuatu atau bekerja. Seseorang yang sangat termotivasi, yaitu orang yang melaksanakan upaya substansial, guna menunjang tujuan-tujuan produksi kesatuan kerjanya, dan organisasi dimana ia bekerja. Seseorang yang tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi, merupakan sebuah konsep penting studi tentang kinerja individual. Dengan demikian motivasi atau motivation berarti pemberian motiv, penimbulan motiv atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Dapat juga dikatakan bahwa motivation adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu (Martoyo , 2000).

Manusia dalam aktivitas kebiasaannya memiliki semangat untuk mengerjakan sesuatu asalkan dapat menghasilkan sesuatu yang dianggap oleh dirinya memiliki suatu nilai yang sangat berharga, yang tujuannya jelas pasti untuk melangsungkan kehidupannya, rasa tentram, rasa aman dan sebagainya.

Menurut Martoyo (2000) motivasi kinerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja. Menurut Gitosudarmo dan Mulyono (1999) motivasi adalah suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia pasti memiliki sesuatu faktor yang mendorong perbuatan tersebut. Motivasi atau dorongan untuk bekerja ini sangat penting bagi tinggi rendahnya produktivitas perusahaan. Tanpa adanya motivasi dari para karyawan atau pekerja untuk bekerja sama bagi kepentingan perusahaan maka tujuan yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Sebaliknya apabila terdapat motivasi yang besar dari para karyawan maka hal tersebut merupakan suatu jaminan atas keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya.

Motivasi atau dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja bersama demi tercapainya tujuan bersama ini terdapat dua macam, yaitu:
a. Motivasi finansial, yaitu dorongan yang dilakukan dengan memberikan imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut sering disebut insentif.
b. Motivasi nonfinansial, yaitu dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk finansial/ uang, akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian, penghargaan, pendekatan manusia dan lain sebagainya (Gitosudarmo dan Mulyono , 1999).

Menurut George R. dan Leslie W. (dalam bukunya Matutina. dkk , 1993) mengatakan bahwa motivasi adalah “……getting a person to exert a high degree of effort ….” yang artinya motivasi membuat seseorang bekerja lebih berprestasi. Sedang Ravianto (1986) dalam bukunya ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kinerja, yaitu atasan, rekan, sarana fisik, kebijaksanaan dan peraturan, imbalan jasa uang, jenis pekerjaan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan kekuatan yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidak seimbangan. Ada definisi yang menyatakan bahwa motivasi berhubungan dengan :

  1. Pengaruh perilaku.
  2. Kekuatan reaksi (maksudnya upaya kerja), setelah seseorang karyawan telah memutuskan arah tindakan-tindakan.
  3. Persistensi perilaku, atau berapa lama orang yang bersangkutan melanjutkan pelaksanaan perilaku dengan cara tertentu. (Campell , 1970).

Teori motivasi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu teori kepuasan (content theory) dan teori proses (process theory). Teori ini dikenal dengan nama konsep Higiene, yang mana cakupannya adalah:
1. Isi Pekerjaan.
Hal ini berkaitan langsung dengan sifat-sifat dari suatu pekerjaan yang dimiliki oleh tenaga kerja yang isinya meliputi :
Prestasi, upaya dari pekerjaan atau karyawan sebagai aset jangka panjang dalam menghasilkan sesuatu yang positif di dalam pekerjaannya, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, pengembangan potensi individu.
2. Faktor Higienis.
Suatu motivasi yang dapat diwujudkan seperti halnya : gaji dan upah, kondisi kerja, kebijakan dan administrasi perusahaan, hubungan antara pribadi, kualitas supervisi.
Pada teori tersebut bahwa perencanaan pekerjaan bagi karyawan haruslah menunjukkan keseimbangan antara dua faktor.

Teori Motivasi Kepuasan.
Teori yang didasarkan pada kebutuhan insan dan kepuasannya. Maka dapat dicari faktor-faktor pendorong dan penghambatnya. Pada teori kepuasan ini didukung juga oleh para pakar seperti Taylor yang mana teorinya dikenal sebagai Teori Motivasi Klasik. Teori secara garis besar berbicara bahwa motivasi kerja hanya dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan kerja baik secara biologis maupun psikologis. Yaitu bagaimana mempertahankan hidupnya. Selain itu juga

Teori Hirarki Kebutuhan (Need Hirarchi) dari Abraham Maslow yang menyatakan bahwa motivasi kerja ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan kerja baik secara biologis maupun psikologis, baik yang berupa materi maupun non-materi.

Secara garis besar tersebut teori jenjang kebutuhan dari Maslow dari yang rendah ke yang paling tinggi yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah merasa puas, karena kepuasannya bersifat sangat relatif maka disusunlah hirarki kebutuhan seperti hasrat menyususn dari yang teruraikan sebagai berikut:

  1. Kebutuhan pokok manusia sehari-hari misalnya kebutuhan untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan fisik lainnya (physical need). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah, apabila sudah terpenuhi maka diikuti oleh hirarki kebutuhan yang lainnya.
  2. Kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari yang membayangkan kelangsungan hidup dan kehidupan dengan segala aspeknya (safety need).
  3. Kebutuhan untuk disukai dan menyukai, disenangi dan menyenangi, dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk bergaul, berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menjadi anggota kelompok pergaulan yang lebih besar (esteem needs).
  4. Kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan, keagungan, kekaguman, dan kemasyuran sebagai seorang yang mampu dan berhasil mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa (the need for self actualization). Kebutuhan tersebut sering terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari melalui bentuk sikap dan prilaku bagaimana menjalankan aktivitas kehidupannya (Zainun , 1997).
  5. Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan, pujian, penghargaan, dan pengakuan (esteem need).

Teori Motivasi Proses.
Teori ini berusaha agar setiap pekerja giat sesuai dengan harapan organisasi perusahaan. Daya penggeraknya adalah harapan akan diperoleh si pekerja.

Dalam hal ini teori motivasi proses yang dikenal seperti :

  • Teori Harapan (Expectancy Theory), komponennya adalah: Harapan, Nilai (Value), dan Pertautan (Instrumentality).
  • Teori Keadilan (Equity Theory), hal ini didasarkan tindakan keadilan diseluruh lapisan serta obyektif di dalam lingkungan perusahaannya.
  • Teori Pengukuhan (Reinfocement Theory), hal ini didasarkan pada hubungan sebab-akibat dari pelaku dengan pemberian kompensasi.

Teori Motivasi Prestasi (Achievement Motivation) dari McClelland
Teori ini menyatakan bahwa seorang pekerja memiliki energi potensial yang dapat dimanfaatkan tergantung pada dorongan motivasi, situasi, dan peluang yang ada. Kebutuhan pekerja yang dapat memotivasi gairah kerja adalah :

  1. Kebutuhan akan prestasi dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses.
  2. Kebutuhan akan kekuasaan : kebutuhan untuk membuat orang berprilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu (tanpa dipaksa) tidak akan berprilaku demikian.
KONTINGENSI FIEDLER

Para model kontingensi Fiedler adalah kepemimpinan teori
Psikologi Industri dan Organisasi yang dikembangkan oleh Fred Fiedler (lahir 1922), salah satu ilmuwan terkemuka yang membantu bidangnya bergerak dari penelitian sifat-sifat dan karakteristik pribadi pemimpin untuk gaya kepemimpinan dan perilaku.

Dua faktor

Ahli teori manajemen yang pertama, Taylorist diasumsikan ada satu gaya kepemimpinan terbaik.. Model kontingensi Fiedler's mendalilkan bahwa efektivitas pemimpin didasarkan pada 'situasional kontingensi' yang merupakan hasil dari interaksi dari dua faktor: gaya kepemimpinan dan situasional favourableness (kemudian disebut situasional kontrol). Lebih dari 400 penelitian telah sejak menyelidiki hubungan ini. Paola Marisol Ramos Zaldivar Paola Marisol Ramos Zaldívar

pilihan rekan kerja (LPC)

Gaya kepemimpinan pemimpin, dengan demikian, tetap dan diukur dengan apa yang dia sebut paling disukai rekan kerja (LPC) skala, sebuah alat untuk mengukur kepemimpinan individu orientasi. Skala LPC meminta para pemimpin untuk memikirkan semua orang dengan siapa mereka yang pernah bekerja dan kemudian menggambarkan orang dengan siapa mereka telah bekerja paling baik, dengan menggunakan serangkaian bipolar skala 1 sampai 8, seperti berikut:


Tanggapan-tanggapan terhadap skala tersebut (biasanya 18-25 total) yang disimpulkan dan rata-rata: skor LPC tinggi menunjukkan bahwa pemimpin memiliki orientasi hubungan antar manusia, sedangkan skor LPC rendah menunjukkan orientasi tugas. Fiedler mengasumsikan bahwa setiap orang yang paling tidak disukai rekan kerja di Kenyataannya adalah rata-rata sekitar sama-sama tidak menyenangkan. Tetapi orang-orang yang memang hubungan termotivasi, cenderung untuk menggambarkan paling tidak disukai rekan kerja mereka dalam cara yang lebih positif, misalnya, lebih menyenangkan dan lebih efisien. Oleh karena itu, mereka menerima nilai LPC tinggi. Tugas orang-orang yang termotivasi, di sisi lain, cenderung untuk menilai paling tidak disukai rekan kerja mereka dalam cara yang lebih negatif. Oleh karena itu, mereka menerima skor LPC rendah. Jadi, rekan kerja yang dipilih yang terkecil (LPC) skala ini sebenarnya tidak tentang pekerja pilihan yang paling tidak sama sekali, sebaliknya, ini adalah tentang orang yang mengambil tes; ini adalah tentang motivasi orang itu tipe. Ini sangat, karena, orang yang paling tidak disukai menilai rekan kerja mereka dalam cahaya yang relatif baik pada skala ini memperoleh kepuasan atas hubungan interpersonal, dan mereka yang menilai rekan kerja dalam waktu yang relatif ringan tidak menguntungkan memperoleh kepuasan keluar dari tugas sukses kinerja. Metode ini mengungkapkan suatu reaksi emosional individu kepada orang-orang mereka tidak dapat bekerja dengan. Pengkritik menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu akurat pengukuran efektivitas kepemimpinan.

Situational favourableness

Menurut Fiedler, tidak ada pemimpin yang ideal. Kedua LPC rendah (task-oriented) dan LPC tinggi (hubungan-oriented) pemimpin dapat efektif jika orientasi kepemimpinan mereka sesuai dengan situasi. Teori kontingensi memungkinkan untuk memprediksi karakteristik situasi yang tepat untuk efektivitas. situational control: Tiga komponen situasional menentukan atau situasional favourableness kontrol:

  1. Leader-Member Relations, mengacu pada tingkat saling percaya, menghormati dan kepercayaan antara pemimpin dan bawahan.
  2. Tugas Struktur, merujuk pada sejauh mana tugas-tugas kelompok jelas dan terstruktur.
  3. Posisi pemimpin Power, mengacu pada kekuasaan yang melekat pada posisi pemimpin itu sendiri.

"favorable situation." Ketika ada seorang pemimpin yang baik hubungan anggota, tugas yang sangat terstruktur, dan posisi pemimpin yang tinggi kekuasaan, situasi ini dianggap sebagai "situasi yang menguntungkan. Fiedler menemukan bahwa para pemimpin LPC rendah lebih efektif dalam sangat menguntungkan atau situasi yang tidak menguntungkan, sedangkan para pemimpin LPC tinggi performa terbaik dalam situasi dengan tingkat favourability.

Pemimpin-situasi yang cocok dan ketidakcocokan

Karena kepribadian relatif stabil, model kontingensi menunjukkan bahwa meningkatkan efektivitas memerlukan mengubah situasi agar sesuai dengan pemimpin. Ini disebut "pekerjaan rekayasa. Organisasi atau pemimpin dapat meningkatkan atau menurunkan posisi tugas struktur dan kekuasaan, juga pelatihan dan pengembangan kelompok dapat meningkatkan hubungan pemimpin-anggota. Dalam buku 1976 Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan: The Leader Match Konsep Fiedler (dengan Martin Chemers dan Linda Mahar) mondar-mandir menawarkan diri program pelatihan kepemimpinan yang dirancang untuk membantu para pemimpin favourableness mengubah situasi, atau situasional kendali.

Contoh

  • Tugas kepemimpinan berorientasi akan dianjurkan dalam bencana alam, seperti banjir atau api. Dalam situasi yang tidak menentu pemimpin-hubungan anggota biasanya miskin, tugas terstruktur, dan kekuasaan posisi lemah. Orang yang muncul sebagai pemimpin untuk mengarahkan aktivitas kelompok biasanya tidak tahu bawahan secara pribadi. Tugas-pemimpin yang berorientasi pada hal-hal yang dilakukan akan terbukti menjadi yang paling berhasil. Jika pemimpin adalah perhatian (berorientasi pada hubungan), mereka mungkin membuang begitu banyak waktu dalam bencana, bahwa segala sesuatu keluar dari kehidupan DNS dan hilang.
  • Pekerja kerah biru pada umumnya ingin tahu persis apa yang seharusnya mereka lakukan. Oleh karena itu, lingkungan kerja mereka biasanya sangat terstruktur. Posisi pemimpin kekuasaan yang kuat jika punggung manajemen keputusan mereka. Akhirnya, meskipun pemimpin mungkin tidak berorientasi pada hubungan, hubungan pemimpin-anggota mungkin sangat kuat jika mereka dapat memperoleh promosi dan kenaikan gaji untuk bawahan. Dalam situasi ini tugas-gaya kepemimpinan berorientasi lebih disukai di atas (perhatian) gaya berorientasi pada hubungan.
  • Perhatian (berorientasi pada hubungan) gaya kepemimpinan dapat tepat dalam lingkungan di mana situasi ini cukup menguntungkan atau tertentu. Sebagai contoh, ketika (1) pemimpin-anggota hubungan yang baik, (2) tugas yang tak terstruktur, dan (3) kekuasaan posisi lemah. Situasi seperti ini ada dengan penelitian para ilmuwan yang tidak suka atasan untuk struktur tugas bagi mereka. Mereka lebih suka mengikuti mengarah kreatif mereka sendiri untuk memecahkan masalah. Dalam situasi seperti ini mempertimbangkan gaya kepemimpinan adalah lebih disukai daripada berorientasi tugas

Selasa, 03 November 2009

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

Menurut teorinya kepemimpinan Transformasional dibangun atas gagasan-gagasan awal dari Burns (1978). Tingkat Sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional dapat diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para bawahan. Bawahan seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih dari pada yang awalnya diharapkan pemimpin. Pemimpin tersebut memotivasi para bawahan dengan : 1) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, 2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi dari pada diri sendiri, dan 3) mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.

Avolio & Bass (1987) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam dua hal. Pertama, meskipun pemimpin transformasional yang efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpin transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan kinerjanya. Misalnya, bawahan di dorong mengambil tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja. Kedua, pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin.

Sebelum Bass mengindikasikan ada tiga cirri kepemimpinan transformasional yaitu karismatik, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual (Avolio, dkk, 1988; Bycio, dkk, 1995; Howel & Avolio, 1993; Yukl, 1998; Seltzer dan Bass, 1990; 1995). Dalam revisinya Bass (dalam Bass & Avolio, 1993) mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri kepemimpinan transformasional. Dengan demikian ciri-ciri kepemimpinan transformasional terdiri dari karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual.

  • Karismatik.

Karismatik menurut Yukl (1998) merupakan kekuatan pemimpin yang besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas. Bawahan mempercayai pemimpin karena pemimpin dianggap mempunyai pandangan, nilai dan tujuan yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin. Selanjutnya dikatakan kepemimpinan karismatik dapat memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja ekstra karena mereka menyukai pemimpinnya.

  • Inspirasional.

Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam Bass, 1985) dapat merangsang antusiame bawahan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.

  • Stimulasi Intelektual.

Menurut Yukl (1998; Deluga; 1998; Bycio, dkk, 1995) stimulasi intelektual merupakan upaya bawahan terhadap persoalan-persoalan dan mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui perspektif baru, sedangkan oleh Seltzer dan Bass (1990) dijelaskan bahwa melalui stimulasi intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan mendorong untuk menemukan pendekatan - pendekatan baru terhadap masalah-masalah lama. Jadi, melalui stimulasi intelektual, bawahan didorong untuk berpikir mengenai relevansi cara, system nilai, kepercayaan, harapan dan didorong melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan dan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan diri serta disorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang.

Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sebagai suatu upaya untuk memunculkan kemampuan bawahan. Hal itu dibuktikan dalam penelitian Seltzer dan bass (1990) bahwa aspek stimulasi intelektual berkorlasi positif dengan extra effort. Maksudnya, pemimpin yang dapat memberikan kontribusi intelektual senantiasa mendorong staf supaya mapu mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.

  • Perhatian secara Individual

Perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual implikasinya adalah memelihara kontak langsung face to face dan komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan monitoring merupakan bentuk perhatian individual yang ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya.

Extra effort merupakan salah satu faktor tercapainya kinerja yang tinggi, kerena extra effort ini dianggap memiliki keterkaitan secara langsung dan positif dengan hasil kerja yang dihapapkan. Penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan memberikan hasil yang menarik pada gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional dengan extra effort dari bawahan. Dikatakan oleh Burke, Warner dan Litwin; George (1992) dalam penelitiannya bahwa faktor-faktor transformasional dan transaksional secara bersamaan dapat mempengaruhi kinerja.

Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan simulasi permainan manajemen yang dilakukan oleh Avolio, Bruce, Waldam, David, Einstein dan Walter (1998) bahwa kepemimpinan transaksional aktif dan transformasional berkorelasi dengan efektifitas organisasi dalam tingkat lebih tinggi sehingga menyebabkan kinerja tim lebih tinggi. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional dan transaksional aktif berkorelasi signifikan dengan kinerja yang merupakan kriteria efektivitas karena extra effort bawahan. Bukti penelitian tersebut sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Bass (1985), pada intinya konsep kepemimpinan transaksional menggambarkan pimpinan yang mengenali kebutuhan bawahannya dan melakukan pertukaran reward untuk tingkat kinerja yang diharapkan dari bawahannya. Selanjutnya dikatakan. Bahwa konsep kepemimpinan transformasional menggambarkan pemimpin yang tidak meningkatkan kesadaran bawahan untuk memperluas dan meningkatkan kebutuhan dan mendorong bawahan mentransendensikan minat pribadi ketujuan lebih luas. Perluasan nilai-nilai kerja ini dianggap akan meningkatkan kinerja dan upaya bawahan.

Bertambahkannya masa kerja berpengaruh terhadap tingkat rasa memiliki terhadap perusahaan karena karyawan yang telah lama bekerja mampu menyesuaikan diri dan mengatasi masalah yang timbul dengan pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian bertambahnya pengalaman seseorang akibat bertambahnya masa kerja akan menambah upaya bawahan dalam memecahkan permasalahan pekerjaan seperti dikatakan oleh Davis dan Newsrom (1989), masa kerja yang dimiliki oleh karyawan-karyawan membawa suatu pengalaman untuk memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan pekerjaan.

Heater dan Bass (1998) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional lebih menarik bagi karyawan yang berpendidikan tinggi karena karyawan yang berpendidikan tinggi mendambakan tantangan kerja yang dapat menambah profesionalis dan pengembangan diri. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Keller (1992) bahwa mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam menghadapi tantangan kerja dan bawahan yang mempunyai pendidikan tinggi dapat mendukung memberi respon terhadap kepemimpinan transformasional. Respon positif tersebut dapat mempengaruhi tingkat motivasi bawahan sehingga bawahan juga akan meningkatkan upayanya atau melakukan extra effort untuk mendapatkan hasil kerja lebih tinggi dari yang diharapkan. Sedangkan bass (1985) mengatakan, kepemimpinan transformasional lebih memungkinkan muncul dalam organisasi yang memiliki kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi, diharapkan dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

Inspirasi

Kharisma

Konsiderasi

Individual

Stimulasi

Intelektual

Mempertinggi motivasi untuk mencapai keluaran yang direncanakan atau Extra Effort

Usaha yang diharapkan

Teori X dan Teori Y - Douglas Mc Gregor

Teori X dan Teori Y - Douglas Mc Gregor

Pada tahun 1950, Douglas McGregor (1906-1964), seorang psikolog yang mengajar di MIT dan menjabat sebagai presiden Antioch College 1.948-1.954, mengkritik baik klasik dan hubungan manusia tidak memadai untuk sekolah sebagai kenyataan di tempat kerja. Dia percaya bahwa asumsi yang mendasari kedua sekolah mewakili pandangan negatif tentang sifat manusia dan pendekatan lain yang berdasarkan manajemen yang sama sekali berbeda serangkaian asumsi yang diperlukan. McGregor meletakkan ide-idenya dalam buku klasiknya 1957 artikel berjudul "The Human Side of Enterprise" dan buku tahun 1960 dengan nama yang sama, di mana ia memperkenalkan apa yang kemudian disebut humanisme baru. McGregor menyatakan bahwa pendekatan konvensional untuk mengelola didasarkan pada tiga proposisi utama, yang disebut Teori X:

1. Manajemen bertanggung jawab untuk mengatur unsur-unsur dari usaha produktif-uang, bahan, peralatan, dan orang-dalam kepentingan ekonomi berakhir.
2. Menghormati orang lain, ini adalah proses mengarahkan usaha mereka, memotivasi mereka, mengendalikan tindakan mereka, dan memodifikasi perilaku mereka agar sesuai dengan kebutuhan organisasi.
3. Tanpa intervensi aktif oleh manajemen, orang akan pasif-bahkan resisten-untuk kebutuhan organisasi. Oleh karena itu mereka harus dibujuk, dihargai, dihukum, dan dikendalikan. Kegiatan mereka harus diarahkan.Tugas manajemen yang demikian hanya menyelesaikan sesuatu

Menurut McGregor organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Theori Y. Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Teori ini juga menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan. Lebih lanjut menurut asumís teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah:
1. Tidak menyukai bekerja
2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah
3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalahorganisasi.
4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mncapai tujuan organisasi.

Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y. asumís teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakekatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X. Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan lepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jira keadaan sama-sama menyenangkan.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jira dimotivasi secara tepat.

Dengan memahami asumsi dasar teori Y ini, Mc Gregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan desempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut McGregor, manajemen ajaran ini didasarkan pada asumsi kurang eksplisit tentang sifat manusia. Menurut McGregor, manajemen ajaran ini didasarkan pada Asumsi kurang eksplisit tentang sifat manusia. Yang pertama dari asumsi ini adalah bahwa individu tidak suka bekerja dan akan berubah jika ada kemauan. Asumsi selanjutnya adalah bahwa manusia tidak ingin tanggung jawab dan keinginan eksplisit arah. Selain itu, individu diasumsikan individu menempatkan keprihatinan di atas bahwa organisasi tempat mereka bekerja dan untuk menolak perubahan, keamanan menilai lebih dari pertimbangan-pertimbangan lain di tempat kerja. Akhirnya, manusia diasumsikan mudah dimanipulasi dan dikendalikan.

McGregor berpendapat bahwa baik klasik dan pendekatan hubungan manusia tergantung manajemen sama ini serangkaian asumsi. McGregor berpendapat bahwa baik klasik dan pendekatan hubungan manusia tergantung manajemen sama ini serangkaian asumsi. Gaya keras menyebabkan manajemen pembatasan output, saling tidak percaya, unionism, dan bahkan sabotase. McGregor disebut gaya kedua manajemen "lunak" dan mengidentifikasi metode-metode sebagai permisif dan kebutuhan kepuasan. McGregor menyarankan bahwa gaya lembut manajemen sering mengarah ke manajer 'kegagalan untuk melakukan peran manajerial mereka. levels. Ia juga menunjukkan bahwa karyawan sering mengambil keuntungan dari manajer yang terlalu permisif dengan menuntut lebih banyak, melainkan tampil di tingkat yang lebih rendah.
Mc.Gregor tertarik pada karya Abraham Maslow (1908-1970) untuk menjelaskan mengapa asumsi Teori X tidak efektif menyebabkan manajemen. Maslow telah mengusulkan bahwa kebutuhan manusia diatur dalam tingkat, dengan kebutuhan fisik dan keamanan di bagian bawah hierarki kebutuhan dan sosial, ego, dan kebutuhan aktualisasi diri di tingkat atas hirarki.


Titik dasar Maslow adalah bahwa begitu suatu kebutuhan terpenuhi, itu tidak lagi memotivasi perilaku; demikian, hanya tidak terpenuhi kebutuhan motivasi. McGregor menyatakan bahwa sebagian besar karyawan sudah mempunyai dan keselamatan fisik mereka pemenuhan kebutuhan dan motivasi bahwa penekanan telah bergeser ke sosial, ego, dan kebutuhan aktualisasi diri. McGregor mengajukan asumsi tersebut, yang ia percaya dapat menyebabkan lebih banyak manajemen yang efektif dari orang-orang dalam organisasi, di bawah rubrik Teori Y. proposisi utama dari Teori Y adalah sebagai berikut:
1. Manajemen bertanggung jawab untuk mengatur unsur-unsur dari usaha produktif-uang, bahan, peralatan, dan orang-orang dalam kepentingan ekonomi berakhir.
2. Orang tidak dengan sifat pasif atau resisten terhadap kebutuhan organisasi. Mereka telah menjadi begitu sebagai hasil dari pengalaman dalam organisasi.
3. Motivasi, pengembangan potensi, kapasitas untuk mengasumsikan tanggung jawab, dan kesiapan untuk mengarahkan perilaku ke arah tujuan organisasi semuanya hadir dalam orang-manajemen tidak menempatkan mereka di sana. Ini adalah tanggung jawab manajemen untuk memungkinkan orang untuk mengenali dan mengembangkan karakteristik manusia ini untuk diri mereka sendiri.
4. Tugas pokok manajemen adalah untuk mengatur kondisi organisasi dan metode operasi agar orang dapat mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri dengan mengarahkan usaha mereka ke arah tujuan-tujuan organisasi.
Dengan demikian, Teori Y pada intinya memiliki asumsi bahwa upaya fisik dan mental yang terlibat dalam pekerjaan adalah wajar dan bahwa individu secara aktif mencari untuk terlibat dalam pekerjaan. Ini juga menganggap bahwa pengawasan yang ketat dan ancaman hukuman bukan satu-satunya alat atau bahkan cara-cara terbaik untuk membujuk karyawan untuk mengerahkan usaha produktif. Sebaliknya, jika diberi kesempatan, karyawan akan menampilkan motivasi diri untuk mengajukan upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi.

Dengan demikian, menghindari tanggung jawab bukan merupakan kualitas yang melekat sifat manusia; individu akan benar-benar mencarinya di bawah kondisi yang tepat. Teori Y juga beranggapan bahwa kemampuan untuk menjadi inovatif dan kreatif ada di antara yang besar, daripada segmen kecil dari populasi. terkait dengan pekerjaan, keinginan individu imbalan yang memuaskan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Meskipun McGregor tidak percaya bahwa adalah mungkin untuk membuat yang benar-benar tipe Teori Y-organisasi pada 1950-an, ia tidak percaya bahwa asumsi-asumsi Teori Y akan mengarah pada manajemen yang lebih efektif. Dia mengidentifikasi beberapa pendekatan untuk manajemen bahwa ia merasa telah konsisten dengan ajaran Teori Y. Ini termasuk desentralisasi wewenang pengambilan keputusan, pendelegasian, pekerjaan pembesaran, dan partisipatif manajemen. . Program pengayaan pekerjaan yang dimulai pada 1960-an dan 1970-an juga adalah konsisten dengan asumsi Teori Y. Pada 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, konseptualisasi McGregor Teori X dan Teori Y sering digunakan sebagai dasar untuk diskusi gaya manajemen, karyawan keterlibatan, dan motivasi pekerja.

Beberapa penulis menyarankan bahwa organisasi pelaksana Teori Y cenderung untuk kembali kembali ke Teori X dalam ekonomi sulit kali. Lain menyarankan bahwa Teori Y tidak selalu lebih efektif daripada Teori X, tetapi bahwa kemungkinan dari setiap situasi manajerial yang ditentukan dari pendekatan ini lebih sesuai. Yang lain menyarankan ekstensi untuk Teori Y. Salah satunya, William Ouchi's Theory Z, mencoba untuk menggabungkan kekuatan Amerika berdasarkan filosofi manajemen Teori Y dengan filosofi manajemen Jepang.

Selasa, 13 Oktober 2009

Hubungan Kepemimpinan dan Kekuasaan

Hubungan pemimpin dan kekuasaan adalah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam dengan asinnya. Dua-duanya tak terpisahkan. Kepemimpinan yang efektif (effective leadership) terealisasi pada saat seorang pemimpin dengan kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Ketika kekuasaan ternyata bisa timbul tidak hanya dari satu sumber, kepemimpinan yang efektif bisa dianalogikan sebagai movement untuk memanfaatkan genesis (asal usul) kekuasaan, dan menerapkannya pada tempat yang tepat.

Refleksi dari kepemimpinan yang efektif, bertanggungjawab, dan terbalutnya hubungan sinergis antara pemimpin dengan yang dipimpin, adalah makna filosofis dari nasehat Rasulullah SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab terhadap pimpinannya, seorang Amir (kepala negara) adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab terhadap rakyatnya ….” (HR Bukhari & Muslim)

Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis kekuasaan (types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial (the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya teridentifikasi dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power, dan referent power.

Legitimate Power (kekuasaan sah), yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang pemimpin perusahaan terhadap karyawannya.

Coercive Power (kekuasaan paksa), yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negatif yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subyektif lainnya.

Reward Power (kekuasaan penghargaan), adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang, dsb.

Expert Power (kekuasaan kepakaran), yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya, dan akan hilang apabila sudah tidak memerlukannya. Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power atau legitimate power.

Referent Power (kekuasaan rujukan) adalah kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah, apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya.

Seorang pemimpin yang memiliki jiwa leadership adalah pemimpin yang dengan terampil mampu melakukan kombinasi dan improvisasi dalam menggunakan genesis kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi. Inilah yang disebut penulis dalam kalimat sebelumnya sebagai kepemimpinan yang efektif (effective leadership), dimana implementasinya adalah dengan “memanfaatkan genesis kekuasaan, dan menerapkannya pada tempat yang tepat”.

Dan marilah kita saksikan bagaimana khalifah Abu Bakar Asshidiq, menggunakan legitimate power yang dimilikinya untuk memerintahkan Usamah bin Zaid meneruskan rencana memimpin pengiriman tentara ke Syria, di sisi lain menggunakan referent power untuk meminta ijin Usamah bin Zaid agar meninggalkan Umar Bin Khattab di Madinah. Dan dalam keadaan yang berbeda, beliau memakai expert power ketika menolak permintaan Fathimah (putri Rasulullah) dengan landasan hukum fiqih dan hadits shahih, berkenaan dengan masalah harta warisan setelah Rasulullah SAW wafat.

Adalah Umar bin Abdul Aziz yang telah berhasil menggunakan coercive powernya ketika menjabat sebagai gubernur wilayah Hejaz, untuk tidak memperbolehkan Hajjaj bin Yusuf Atssaqafi (penguasa Iraq yang dhalim) melewati kota Madinah. Meskipun secara kedudukan Hajjaj memiliki tempat istimewa di hati penguasa Daulat Bani Umaiyah. Dan dengan kekuatan referent power dan reward power yang dimilikinya, Umar bin Abdul Aziz telah berhasil menyatukan kelompok-kelompok Qeisiyah, Yamaniah, Khawarij, Syiah, Mutazilah, yang secara terus menerus bertikai pada masa itu. Juga berhasil mengumpulkan ulama-ulama yang shaleh dan terkemuka yang sebelumnya telah mengasingkan diri, menjauhkan diri dari kekuasaan karena kerusakan moral kekhalifahan Bani Umayah sebelumnya. Para ulama justru mendatangi Umar bin Abdul Aziz, duduk bersama untuk memecahkan masalah umat.

Merindukan pemimpin republik yang tidak hanya pandai menggunakan coercive power dan legitimate power dalam memimpin republik. Tapi juga dengan bijak dan cerdik menggunakan expert power, referent power, ataupun reward power dalam mempersatukan seluruh anak negeri, dan mengangkat republik dari keterpurukan.

Arti Wewenang Dalam Suatu Perusahaan

Wewenang merupakan syaraf yang berfungsi sebagai penggerak dari pada kegiatan-kegiatan. Wewenang yang bersifat informal, untuk mendapatkan kerjasama yang baik dengan bawahan. Disamping itu wewenang juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan. Wewenang berfungsi untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang ada dalam organisasi.
Wewenang dapat diartikan sebagai hak untuk memerintah orang lain untuk melalukan atau tidak melakukan sesuatu agar tujuan dapat tercapai T. Hani Handoko membagi wewenang dalam dua sumber, yaitu teori formal ( pandangan klasik ) dan teori penerimaan. Wewenang formal merupakan wewenang pemberian atau pelimpahan dari orang lain. Wewenang ini berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan secara hukum diturunkan dari tingkat ke tingkat. Berdasarkan teori penerimaan ( acceptance theory of authority ) wewenang timbul hanya bila hal diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima ( reciver ).
Chester Bamard mengatakan bahwa seseorang bersedia menerima komunikasi yang bersifat kewenangan bila memenuhi :
1. Memahami kominikasi tersebut
2. Tidak menyimpang dari tujuan organisasi
3. tidak bertentangan dengan kepentingan pribadi
4. mampu secara mental dan phisik untuk mengikutinya.
Agar wewenang yang dimiliki oleh seseorang dapat di taati oleh bawahan maka diperlukan adannya.
1. Kekuasaan ( power ) yaitu kemampuan untuk melakukan hak tersebut, dengan cara mempengaruhi individu, kelompok, keputusan. Menurut jenisnya kekuasaan dibagi menjadi dua yaitu :
a. Kekuasaan posisi ( position power ) yang didapat dari wewenang formal, besarnya ini tergantung pada besarnya pendelegasian orang yang menduduki posisi tersebut.
b. Kekuasaan pribadi ( personal power ) berasal dari para pengikut dan didasarkan pada seberapa besar para pengikut mengagumi, respek dan merasa terikat pada pimpinan.
Menurut sumbernya wewenang dibagi menjadi :
1. Kekuasaan balas jasa ( reward power ) berupa uang, suaka, perkembangan karier dan sebagainya yang diberikan untuk melaksanakan perintah atau persyaratan lainnya.
2. Kekuasaan paksaan ( Coercive power ) berasal dari apa yang dirasakan oleh seseorang bahwa hukuman ( dipecat, ditegur, dan sebagainya ) akan diterima bila tidak melakukan perintah,
3. Kekuasaan sah ( legitimate power ) Berkembang dari nilai-nilai intern karena seseorang tersebut telah diangkat sebagai pemimpinnya.
4. Kekuasaan pengendalian informasi ( control of information power ) berasal dari pengetahuan yang tidak dipercaya orang lain, ini dilakukan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan.
5. Kekuasaan panutan ( referent power ) didasarkan atas identifikasi orang dengan pimpinan dan menjadikannya sebagai panutan.
6. Kekuasaan ahli ( expert power ) yaitu keahlian atau ilmu pengetahuan seseorang dalam bidangnya.
2. Tanggung jawab dan akuntabilitas tanggung jawab ( responsibility yaitu kewajiban untuk melakukan sesuatu yang timbul bila seorang bawahan menerima wewenang dari atasannya. Akuntability yaitu permintaan pertanggung jawaban atas pemenuhan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Yang penting untuk diperhatikan bahwa wewenang yang diberikan harus sama dengan besarnya tanggung jawab yang akan diberikan dan diberikan kebebasan dalam menentukan keputusan-keputusan yang akan diambil.
3. Pengaruh ( influence ) yaitu transaksi dimana seseorang dibujuk oleh orang lain untuk melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan harapan orang yang mempengaruhi. Pengaruh dapat timbul karena status jabatan, kekuasaan dan menghukum, pemilikan informasi lengkap juga penguasaan saluran komunikasi yang lebih baik.

Minggu, 11 Oktober 2009

artikel kepemimpinan Manajemen

Menghadapi Tantangan Baru Dengan Sikap Yang Baru

Dalam menghadapi iklim perubahan besar sekarang ini, perusahaan memerlukan manusia-manusia baru. Yaitu manusia yang punya sikap mental (attitude) baru dan cara berpikir (mindset) baru. Sejarah menunjukkan bahwa hampir setiap terobosan yang terjadi di seluruh dunia selalu dimulai dengan menghentikan cara-cara lama, paradigma lama, sikap lama yang berubah menuju paradigma baru, sikap baru. Perubahan pada cara melihat, cara mempersepsi, dan cara berpikir atas segala persoalan perusahaan.

Perubahan ini terjadi jika ada perubahan pada asumsi-asumsi dasar ataupun keyakinan, perubahan pada nilai-nilai. Inilah yang disebut dengan perubahan budaya. Sehingga dengan budaya baru ini, lahirlah perilaku-perilaku baru, kebiasaan-kebiasaan baru, karya dan inovasi baru. Lalu paa akhirnya melahirkan tata kelola perusahaan yang baru yang kian selaras dengan lingkungan bisnis yang makin kompetitif.

Salah satu perubahan penting agar budaya perusahaan betul-betul terinternalisasi menjadi perilaku dan kebiasaan baru, memang harus bermula dari perubahan sikap. Sikap jauh lebih penting dari fakta. Juga jauh lebih penting dari pada masa lalu, dari pada pendidikan, daripada uang, daripada keadaan, daripada kegagalan, daripada sukses, daripada yang dipikirkan, atau yang dikatakan atau dilakukan oleh orang lain. Sikap juga jauh lebih penting dari penampilan, bakat, atau keahlian. Sikap-lah yang akan membesarkan atau bahkan menghancurkan perusahaan. Kehidupan ini adalah 10 persen apa yang terjadi terhadap diri kita, sedangkan 90 persen adalah bagaimana kita bereaksi terhadapnya. Sikap kitalah yang menentukannya. Kita pula yang memilihnya.

Sikap pula yang membedakan seseorang yang punya excellence performance dengan bad performance. Sikap itulah yang sadar atau tidak membentuk cara ia bekerja dan sekaligus membentuk kebiasaan-kebiasaannya dalam perusahaan, selain juga ditentukan oleh budaya dan kebiasaan kelompok tempat dimana ia berada. Semua akan tercermin dalam perilaku pekerjaan dan hasil pekerjaannya.

Kita juga harus memahami bahwa perusahaan sangat berkepentingan menginternalisasikan budaya perusahaan melalui penguatan nilai-nilai yang telah dirumuskan. Nilai-nilai itu bukan untuk kita hafal luar kepala,melainkan agar menjadi bagian internal dari sikap kita, yang kemudian terproyeksi dalam tindak perilaku dan kebiasaan kita. Jika dalam pikiran kita selalu “hidup” nilai “mementingkan pelanggan” misalnya, maka pastilah akan muncul sikap-sikap yang selalu tanggap akan kebutuhan yang diinginkan pelanggan, baik yang mereka nyatakan, ataupun bahkan yang tidak mereka ungkapkan. Kita akan berusaha menafsirkan dan akan terus menggali, karena kita begitu peduli dengan harapan-harapan pelanggan dan senantiasa menempatkan diri sebagai solusi atas masalah yang pelanggan hadapi.

Begitu pula jika kata-kata service excellent betul-betul telah menjiwai pikiran kita, secara otomatis akan muncul tabiat dan perilaku senang melayani dan memuaskan pelanggan, bahkan melebihi harapan normal mereka.

Tinggal sekarang mau nggak kita melatih diri setiap hari “mengamalkan” nilai-nilai yang kita budayakan itu. Awalnya memang perlu secara sadar kita lakukan. Lalu kalau perilaku-perilaku itu terus kita latih, setiap hari, secara sengaja, kadang berhasil kadang gagal namun terus melakukannya, maka lama-lama perilaku sadar itu akhirnya berubah menjadi kebiasaan-kebiasaan otomatis kita, menjadi budaya kita. Inilah harapan kita. InsyaAllah hasilnya akan luar biasa.