Hubungan pemimpin dan kekuasaan adalah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam dengan asinnya. Dua-duanya tak terpisahkan. Kepemimpinan yang efektif (effective leadership) terealisasi pada saat seorang pemimpin dengan kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Ketika kekuasaan ternyata bisa timbul tidak hanya dari satu sumber, kepemimpinan yang efektif bisa dianalogikan sebagai movement untuk memanfaatkan genesis (asal usul) kekuasaan, dan menerapkannya pada tempat yang tepat.
Refleksi dari kepemimpinan yang efektif, bertanggungjawab, dan terbalutnya hubungan sinergis antara pemimpin dengan yang dipimpin, adalah makna filosofis dari nasehat Rasulullah SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab terhadap pimpinannya, seorang Amir (kepala negara) adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab terhadap rakyatnya ….” (HR Bukhari & Muslim)
Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis kekuasaan (types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial (the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya teridentifikasi dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power, dan referent power.
Legitimate Power (kekuasaan sah), yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang pemimpin perusahaan terhadap karyawannya.
Coercive Power (kekuasaan paksa), yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negatif yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subyektif lainnya.
Reward Power (kekuasaan penghargaan), adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang, dsb.
Expert Power (kekuasaan kepakaran), yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya, dan akan hilang apabila sudah tidak memerlukannya. Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power atau legitimate power.
Referent Power (kekuasaan rujukan) adalah kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah, apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya.
Seorang pemimpin yang memiliki jiwa leadership adalah pemimpin yang dengan terampil mampu melakukan kombinasi dan improvisasi dalam menggunakan genesis kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi. Inilah yang disebut penulis dalam kalimat sebelumnya sebagai kepemimpinan yang efektif (effective leadership), dimana implementasinya adalah dengan “memanfaatkan genesis kekuasaan, dan menerapkannya pada tempat yang tepat”.
Dan marilah kita saksikan bagaimana khalifah Abu Bakar Asshidiq, menggunakan legitimate power yang dimilikinya untuk memerintahkan Usamah bin Zaid meneruskan rencana memimpin pengiriman tentara ke Syria, di sisi lain menggunakan referent power untuk meminta ijin Usamah bin Zaid agar meninggalkan Umar Bin Khattab di Madinah. Dan dalam keadaan yang berbeda, beliau memakai expert power ketika menolak permintaan Fathimah (putri Rasulullah) dengan landasan hukum fiqih dan hadits shahih, berkenaan dengan masalah harta warisan setelah Rasulullah SAW wafat.
Adalah Umar bin Abdul Aziz yang telah berhasil menggunakan coercive powernya ketika menjabat sebagai gubernur wilayah Hejaz, untuk tidak memperbolehkan Hajjaj bin Yusuf Atssaqafi (penguasa Iraq yang dhalim) melewati kota Madinah. Meskipun secara kedudukan Hajjaj memiliki tempat istimewa di hati penguasa Daulat Bani Umaiyah. Dan dengan kekuatan referent power dan reward power yang dimilikinya, Umar bin Abdul Aziz telah berhasil menyatukan kelompok-kelompok Qeisiyah, Yamaniah, Khawarij, Syiah, Mutazilah, yang secara terus menerus bertikai pada masa itu. Juga berhasil mengumpulkan ulama-ulama yang shaleh dan terkemuka yang sebelumnya telah mengasingkan diri, menjauhkan diri dari kekuasaan karena kerusakan moral kekhalifahan Bani Umayah sebelumnya. Para ulama justru mendatangi Umar bin Abdul Aziz, duduk bersama untuk memecahkan masalah umat.
Merindukan pemimpin republik yang tidak hanya pandai menggunakan coercive power dan legitimate power dalam memimpin republik. Tapi juga dengan bijak dan cerdik menggunakan expert power, referent power, ataupun reward power dalam mempersatukan seluruh anak negeri, dan mengangkat republik dari keterpurukan.
Wewenang merupakan syaraf yang berfungsi sebagai penggerak dari pada kegiatan-kegiatan. Wewenang yang bersifat informal, untuk mendapatkan kerjasama yang baik dengan bawahan. Disamping itu wewenang juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan. Wewenang berfungsi untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang ada dalam organisasi. Wewenang dapat diartikan sebagai hak untuk memerintah orang lain untuk melalukan atau tidak melakukan sesuatu agar tujuan dapat tercapai T. Hani Handoko membagi wewenang dalam dua sumber, yaitu teori formal ( pandangan klasik ) dan teori penerimaan. Wewenang formal merupakan wewenang pemberian atau pelimpahan dari orang lain. Wewenang ini berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan secara hukum diturunkan dari tingkat ke tingkat. Berdasarkan teori penerimaan ( acceptance theory of authority ) wewenang timbul hanya bila hal diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima ( reciver ). Chester Bamard mengatakan bahwa seseorang bersedia menerima komunikasi yang bersifat kewenangan bila memenuhi : 1. Memahami kominikasi tersebut 2. Tidak menyimpang dari tujuan organisasi 3. tidak bertentangan dengan kepentingan pribadi 4. mampu secara mental dan phisik untuk mengikutinya. Agar wewenang yang dimiliki oleh seseorang dapat di taati oleh bawahan maka diperlukan adannya. 1. Kekuasaan ( power ) yaitu kemampuan untuk melakukan hak tersebut, dengan cara mempengaruhi individu, kelompok, keputusan. Menurut jenisnya kekuasaan dibagi menjadi dua yaitu : a. Kekuasaan posisi ( position power ) yang didapat dari wewenang formal, besarnya ini tergantung pada besarnya pendelegasian orang yang menduduki posisi tersebut. b. Kekuasaan pribadi ( personal power ) berasal dari para pengikut dan didasarkan pada seberapa besar para pengikut mengagumi, respek dan merasa terikat pada pimpinan. Menurut sumbernya wewenang dibagi menjadi : 1. Kekuasaan balas jasa ( reward power ) berupa uang, suaka, perkembangan karier dan sebagainya yang diberikan untuk melaksanakan perintah atau persyaratan lainnya. 2. Kekuasaan paksaan ( Coercive power ) berasal dari apa yang dirasakan oleh seseorang bahwa hukuman ( dipecat, ditegur, dan sebagainya ) akan diterima bila tidak melakukan perintah, 3. Kekuasaan sah ( legitimate power ) Berkembang dari nilai-nilai intern karena seseorang tersebut telah diangkat sebagai pemimpinnya. 4. Kekuasaan pengendalian informasi ( control of information power ) berasal dari pengetahuan yang tidak dipercaya orang lain, ini dilakukan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan. 5. Kekuasaan panutan ( referent power ) didasarkan atas identifikasi orang dengan pimpinan dan menjadikannya sebagai panutan. 6. Kekuasaan ahli ( expert power ) yaitu keahlian atau ilmu pengetahuan seseorang dalam bidangnya. 2. Tanggung jawab dan akuntabilitas tanggung jawab ( responsibility yaitu kewajiban untuk melakukan sesuatu yang timbul bila seorang bawahan menerima wewenang dari atasannya. Akuntability yaitu permintaan pertanggung jawaban atas pemenuhan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Yang penting untuk diperhatikan bahwa wewenang yang diberikan harus sama dengan besarnya tanggung jawab yang akan diberikan dan diberikan kebebasan dalam menentukan keputusan-keputusan yang akan diambil. 3. Pengaruh ( influence ) yaitu transaksi dimana seseorang dibujuk oleh orang lain untuk melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan harapan orang yang mempengaruhi. Pengaruh dapat timbul karena status jabatan, kekuasaan dan menghukum, pemilikan informasi lengkap juga penguasaan saluran komunikasi yang lebih baik.
Dalam menghadapi iklim perubahan besar sekarang ini, perusahaan memerlukan manusia-manusia baru. Yaitu manusia yang punya sikap mental (attitude) baru dan cara berpikir (mindset) baru. Sejarah menunjukkan bahwa hampir setiap terobosan yang terjadi di seluruh dunia selalu dimulai dengan menghentikan cara-cara lama, paradigma lama, sikap lama yang berubah menuju paradigma baru, sikap baru. Perubahan pada cara melihat, cara mempersepsi, dan cara berpikir atas segala persoalan perusahaan.
Perubahan ini terjadi jika ada perubahan pada asumsi-asumsi dasar ataupun keyakinan, perubahan pada nilai-nilai. Inilah yang disebut dengan perubahan budaya. Sehingga dengan budaya baru ini, lahirlah perilaku-perilaku baru, kebiasaan-kebiasaan baru, karya dan inovasi baru. Lalu paa akhirnya melahirkan tata kelola perusahaan yang baru yang kian selaras dengan lingkungan bisnis yang makin kompetitif.
Salah satu perubahan penting agar budaya perusahaan betul-betul terinternalisasi menjadi perilaku dan kebiasaan baru, memang harus bermula dari perubahan sikap. Sikap jauh lebih penting dari fakta. Juga jauh lebih penting dari pada masa lalu, dari pada pendidikan, daripada uang, daripada keadaan, daripada kegagalan, daripada sukses, daripada yang dipikirkan, atau yang dikatakan atau dilakukan oleh orang lain. Sikap juga jauh lebih penting dari penampilan, bakat, atau keahlian. Sikap-lah yang akan membesarkan atau bahkan menghancurkan perusahaan. Kehidupan ini adalah 10 persen apa yang terjadi terhadap diri kita, sedangkan 90 persen adalah bagaimana kita bereaksi terhadapnya. Sikap kitalah yang menentukannya. Kita pula yang memilihnya.
Sikap pula yang membedakan seseorang yang punya excellence performance dengan bad performance. Sikap itulah yang sadar atau tidak membentuk cara ia bekerja dan sekaligus membentuk kebiasaan-kebiasaannya dalam perusahaan, selain juga ditentukan oleh budaya dan kebiasaan kelompok tempat dimana ia berada. Semua akan tercermin dalam perilaku pekerjaan dan hasil pekerjaannya.
Kita juga harus memahami bahwa perusahaan sangat berkepentingan menginternalisasikan budaya perusahaan melalui penguatan nilai-nilai yang telah dirumuskan. Nilai-nilai itu bukan untuk kita hafal luar kepala,melainkan agar menjadi bagian internal dari sikap kita, yang kemudian terproyeksi dalam tindak perilaku dan kebiasaan kita. Jika dalam pikiran kita selalu “hidup” nilai “mementingkan pelanggan” misalnya, maka pastilah akan muncul sikap-sikap yang selalu tanggap akan kebutuhan yang diinginkan pelanggan, baik yang mereka nyatakan, ataupun bahkan yang tidak mereka ungkapkan. Kita akan berusaha menafsirkan dan akan terus menggali, karena kita begitu peduli dengan harapan-harapan pelanggan dan senantiasa menempatkan diri sebagai solusi atas masalah yang pelanggan hadapi.
Begitu pula jika kata-kata service excellent betul-betul telah menjiwai pikiran kita, secara otomatis akan muncul tabiat dan perilaku senang melayani dan memuaskan pelanggan, bahkan melebihi harapan normal mereka.
Tinggal sekarang mau nggak kita melatih diri setiap hari “mengamalkan” nilai-nilai yang kita budayakan itu. Awalnya memang perlu secara sadar kita lakukan. Lalu kalau perilaku-perilaku itu terus kita latih, setiap hari, secara sengaja, kadang berhasil kadang gagal namun terus melakukannya, maka lama-lama perilaku sadar itu akhirnya berubah menjadi kebiasaan-kebiasaan otomatis kita, menjadi budaya kita. Inilah harapan kita. InsyaAllah hasilnya akan luar biasa.
Penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat yang lain seperti dalam sistem saraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara.
Penyampaian atau penerimaan sinyal atau pesan oleh organisme.
Pesan yang disampaikan
(Teori Komunikasi) Proses yang dilakukan satu sistem yang lain melalui pengaturan sinyal-sinyal yang disampaikan.
(K.Lewin) Pengaruh suatu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga perubahan dalam satu wilayah menimbulkan peribahan yang berkaitan pada wilayah lain.
Pesan pasien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi.
B.Komunikasi Satu Arah
Komunikasi satu arah merupakan suatu bentuk komunikasi dimana hanya terdapat satu subjek dalam proses komunikasi dan tidak ada subjek sebagai feedback dari komnikasi tersebut. Contohnya : seorang wanita yang mendengarkan radio atau menonton televisi (TV).
C.Komunikasi Dua Arah
Komunikasi dua arah merupakan suatu bentuk komunikasi dimana terdapat dua subjek yang saling melakukan proses komunikasi dan terdapat feedback didalamnya. Contohnya : Dua orang pria yang sedang melakukan perbincangan baik secara langsung maupun melalui media seperti telepon, handphone, dan chatting via e-mail.
D. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal merupakan suatu bentuk komunikasi yang didalamnya menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti.
E.Komunikasi Non Verbal
Komunikasinon verbal merupakan suatu bentuk komunikasi yang didalamnya menggunakan ekspresi wajah, gerak tangan, ekspresi tubuh dan nada suara.
F.Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konferensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagai informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Definisi komunikasi kelompok diatas mempunyai kesamaan, yakni adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki sususnan rencana kerja tertentu untuk mencapai tujuan kelompok.
Sedangkan kelompok itu sendiri merupakan sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini misalnya keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat dalam mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok melibatkan komunikasi dua arah.
ØKlasifikasi Kelompok dan Karakteristik Komunikasinya
1.Kelompok Primer, merupakan suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. (Charles Horton Cooley pada tahun 1909 ; dalam Jalaludin Rakhmat, 1994).
2.Kelompok Sekunder, merupakan suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab,tidak personal, dan tidak menyentuh hati. (Charles Horton Cooley pada tahun 1909 ; dalam Jalaludin Rakhmat, 1994).
Jalaludin Rakhmat membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, sebagai berikut :
1.Kualitas komunikasi pada Kelompok Primer bersifat dalam dan meluas, sedangkan kualitas komunikasi pada Kelompok Sekunder bersifat dangkal dan terbatas.
2.Komunikasi pada Kelompok Primer bersifat personal, sedangkan komunikasi pada Kelompok Sekunder bersifat nonpersonal.
3.Komunikasi pada Kelompok Primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan komunikasi pada Kelompok Sekunder lebih menekankan aspek isi daripada hubungan.
4.Komunikasi pada Kelompok Primer cenderung ekspresif, sedangkan komunikasi pada Kelompok Sekunder cenderung instrumental.
5.Komunikasi pada Kelompok Primer cenderung informal, sedangkan komunikasi pada Kelompok Sekunder cenderung formal.
ØKelompok Keanggotaan dan Kelompok Rujukan
Theodore Newcomb (1930) melahirkandua istilah kelompok, kelompok keanggotaan (Membership group) dan kelompok rujukan (Reference group).
1.Kelompok Keanggotaan(Membership group) adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu.
2.Kelompok Rujukan (Reference group) adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Menurut teori, kelompok rujukan memiliki tiga fungsi : Fungsi Komparatif, contohnya saya menjadikan Islam sebagai kelompok rujukan saya, untuk mengukur dan menilai keadaan dan status saya sekarang. Fungsi Normatif, contohnya Islam memberikan kepada saya norma-norma dan sejumlah sikap atau perilaku yang harus saya miliki. Fungsi Perspektif, contohnya Islam memberikan makna pada berbagai objek, peristiwa dan orang yang saya temui, memberikan cara memandang dunia, cara mendefenisikan situasi, dan mengorganisasikan pengalaman kepada saya.
ØKelompok Deskriptif dan Kelompok Perskriptif
John F. Cragan dan David W. Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua, diantaranya :
1.Kelompok Deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga : a. Kelompok tugas yang bertujuan memecahkan masalah, b. Kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan mereka sebagau acara pokok, c. Kelompok penyadar mempunyai tugas utama menciptakan identitas sosial politik yang baru.
2.Kelompok Preskriptif mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok.
ØPengaruh Kelompok Pada Perilaku komunikasi
1.Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok yang real atau dibayangkan. Bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama.
2.Fasilitas Sosial, Fasilitas (dari kata Perancis facile artinya mudah) menunjukkan kelancaran atau peningkatan kualitas kerja karena ditonton kelompok. Kelompok mempengaruhi pekerjaan sehingga menjadi lebih mudah. Robert Zajonz (1965) menjelaskan bahwa kehadiran orang lain dianggap menimbulkan efek pembangkit energi pada perilaku individu. Energi yang meningkat akan mempertinggi kemungkinan dikeluarkannya respon yang dominan. Respon dominan adalah perilaku yang kita kuasai.
3.Polarisasi adalah kecenderungan kearah posisi yang ekstrem. Bila sebelum diskusi kelompok para anggota mempunyai sikap agak mendukung tindakan tertentu maka setelah diskusi mereka akan lebih kuat lagi mendukung tindakan tertentu itu.
G.Komunikasi Massa
Komunikasi Massa menurut Joseph A. Devito dalam buku Pengantar Komunikasi Massa oleh Nurudin, M.Si., yaitu Komunikasi massa diperuntukan pada orang dalam jumlah banyak yanf tersebar, namun tidak diatur seberapa banyaknya. Dengan kata lain komunikasi massa harus bersifat umum dan bebas dan harus menggunakan peralatan modern untuk menyebarkan pesan, contohnya : pesan yang dikirim seseorang lewat e-mail dalam situs tertentu yang diterima oleh orang-orang di dunia.
H.Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapribadi atau komunikasi intrapersonal adalah penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan.Pengetahuan mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologi seperti persepsi dan kesadaran (awarenees) terjadi saat berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh komunikator.
Pemahaman diri pribadi ini berkembang sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam hidup kita. Kita tidak terlahir dengan pemahaman akan siapa diri kita, akan tetapi prilaku kita selama ini memainkan peranan penting bagaimana kita membangun pemahaman diri pribadi ini. Kesadaran pribadi (self awarenees) memiliki beberapa eleman yang mengacu pada identitas spesifik dari individu. Elemen dari kesadaran diri adalah konsep diri, proses menghargai diri sendiri (self esteem), dan identitas diri kita yang berbeda beda.
I.Hambatan-Hambatan Komunikasi
Dalam praktek berkomunikasi biasanya seseorang akan menemui berbagai macam hambatan yang jika tidak dapat ditanggapi dan disikapi secara tepat akan membuat proses komunikasi yang terjadi menjadi sia-sia karena pesan tidak tersampaikan atau yang sering terjadi adalah terjadinya penyimpangan. Adapun hal-hal yang sering terjadi adalah karena ketidakmampuan seorang penyampai pesan dalam:
1.Berkomunikasi sesuai tingkatan bahasa para pendengarnya. Seorang pedagang makanan yang hanya lulusan SMP tentunya akan kesulitan mengerti pembicaraan seorang sarjana teknik yang berbicara menggunakan istilah-istilah tekniknya.
2.Mengerti keinginan arah pembicaraan dari para pendengarnya. Sekelompok remaja SMA tentunya wajar jika tidak tertarik pada pembicaraan mengenai permasalahan bagaimana merawat dan mendidik balita yang disampaikan seorang ibu rumah tangga.
3.Mengerti kelas sosial para pendengarnya. Sekelompok petani didesa tentunya tidak mengerti dan tidak tertarik pada pembicaraan seorang pialang mengenai perdagangan saham.
4.Memahami latar belakang serta nilai-nilai yang dipegang teguh para pendengarnya. Seorang ahli presentasipun akan sangat kesulitan menembus dan merubah "kekebalan" (kekeras-kepalaan) pendapat seorang individu apalagi kelompok masyarakat yang mengkonsumsi makanan pokok nasi menjadi gandum, kentang atau lainnya walaupun didukung bukti-bukti dan alasan yang kuat dan benar. "Adalah pendengar yang menentukan bagaimana sebaiknya sebuah pesan dimengerti".
Bagaimana dan seperti apa sudut maupun cara pandang seseorang terhadap apa yang didengar, dilihat atau dimengerti sangatlah di bentuk oleh latar belakang dan pengalaman pribadi perorangan.
ARTIKEL INDIVIDU
PRO-KONTRA ACARA TAK BERBOBOT DI MEDIA
Oleh : Ratno Sumabi
Terhadap keberatan tayangan televisi yang kurang berbobot, pihak televisi telah bersiap mengadakan perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Ilham Bintang—salah-satu tokoh berbagai infotainment—pada wawancara di sebuah stasiun televisi swasta (02/08/06) dalam rangka menanggapi fatwa haram untuk tayangan televisi yang menggunjingkan aib kehidupan pribadi yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama, bahwa ke depan produser infotainment akan mengadakan perubahan. Tetapi, hal ini tidak sepenuhnya menjamin perbaikan program infotainment. Sebenarnya terdapat beberapa instrumen yang mampu mengurangi maraknya tayangan gosip di infotainment.
Pertama, kalangan media mesti lebih mengetatkan lagi penegakan etika penyiaran di kalangan mereka sendiri. Selama ini khalayak belum banyak melihat langkah-langkah profesional “menghukum” media yang melanggar etika penyiaran atau kode etik profesi mereka. Ada kesan profesionalisme di kalangan media masih “kedodoran”, terlihat dari masih adanya ungkapan “menurut informasi orang-orang yang dekat dengan…”, “ketika berita ini kami klarifikasikan, yang bersangkutan handphone-nya tidak aktif…” atau suara presenter yang sejenisnya. Kedua, kalangan yang dirugikan dapat lebih pro-aktif mengadukannya kepada pihak yang berwenang. Ini dimungkinkan karena perangkat hukum telah mengaturnya. Sayangnya pihak yang dirugikan biasanya adalah orang yang diberitakan secara negatif, sedangkan penonton yang merasa dirugikan dengan berita yang menurutnya tidak sesuai dengan harapannya tidak mampu berbuat banyak. Ketiga—yang masih jarang diperhatikan—adalah peningkatan keterampilan memilih media sebagai modal berinteraksi dengan media.